Kisah hidup Ali hanya satu contoh dari kisah serupa yang banyak dimiliki puluhan pencari suaka di sini, di seberang Rumah Detensi Militer (Rudenim) Jakarta, Jl Peta Selatan, Kalideres, Jakarta Barat. Mereka hidup dalam ketidakpastian, bertahan lewat kedermawanan orang-orang. Saat siang yang cukup terik, saya berbincang-bincang dengan Ali sambil duduk di bawah pohon rindang dekat pot tanaman depan Rudenim.
"Setiap hari kami kehilangan harapan, kehilangan apa pun yang kami punya. Jika kamu tidak makan dan minum dengan baik, tidak mendapatkan vitamin, kamu akan melemah setiap harinya. Jadi harapan kami pun berkurang hari demi hari," kata Ali kepada detikcom, Rabu (30/1/2019).
Ali (membelakangi kamera) dan kawan-kawan pengungsi dari Afganistan di Kalideres. (Adhi Indra Prasetya/detikcom) |
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami pikir uang kami cukup sampai nanti kita dipindahkan (dari Indonesia ke negara lain yang menerima pengungsi). Tapi kemudian ayah dan ibu saya mulai sakit, dan kami menghabiskan uang tabungan untuk itu (berobat)," kata Ali.
Uang habis, mereka cabut meninggalkan utang sewa rumah dan mengadu ke UNHCR (Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi) di Jakarta. Karena solusi belum juga didapatkan, lebih tepatnya belum dapat uang untuk membiayai kebutuhan hidup, maka mereka datang ke pinggir jalan ini, tempat banyak pengungsi melabuhkan ketidakpastiannya. Delapan bulan sudah mereka di jalanan.
Ali sekeluarga hanya menyisakan harapan ke UNHCR, IOM (Organisasi Internasional untuk Migrasi), atau pemerintah Indonesia. Mereka berharap bisa dibantu bertahan hidup di sini dan akhirnya diberangkatkan ke negara yang mau menerima pengungsi, karena dia sadar Indonesia bukanlah negara yang secara resmi bisa menerima pengungsi secara permanen. Namun, di mata pemuda ini, hari depan seperti samar-samar saja terlihat.
"Kami tidak tahu masa depan kami. Kami bahkan tidak tahu besok seperti apa, apakah kami akan punya makanan dan minuman atau tidak. Jadi susah untuk memikirkan masa depan dan negara tujuan kami," kata Ali, yang tak mau wajahnya difoto ini, demi alasan keamanan.
Penampilan Ali seperti mencerminkan penampilan umum pencari suaka pria yang sering nongkrong di sekitar sini. Ia mengenakan kaus merah, celana training warna hitam, dan sandal jepit. Sepanjang wawancara, suara kendaraan yang melintas tak henti-hentinya meraung di samping kami. Namun bicara Ali yang keras memudahkan saya mendengarnya. Bahasa Inggris-nya pun cukup fasih dan mudah dipahami.
Selain Ali, ada Ahmad Zakaria, pengungsi berusia 32 tahun asal Afganistan, tiba di Indonesia pada Februari tahun lalu. Dia membawa istri dan putri kecilnya berusia 2 tahun. Uang yang mereka bawa tak cukup lagi untuk memperpanjang sewa rumah di Jakarta, akhirnya mereka sampai di pinggir jalan seberang Rudenim Jakarta.
Abdul Zabi memegang payung. (Adhi Indra Prasetya/detikcom) |
"Kita tidak tahu, ada yang perlu 2 hingga 3 tahun menunggu, ada juga yang perlu 8 sampai 10 tahun. Mungkin kita akan mati di sini, tidak ada yang tahu," tutur Zakaria dengan senyum getir.
Meski baru sebagai pengungsi di Indonesia, dia sudah bolak-balik Pakistan-Afganistan sebelumnya demi menghindari maut. Karena kondisi semakin tidak aman, dia memutuskan menempuh perjalanan jauh ke Indonesia.
"Ke mana pun kamu pergi, kamu akan selalu mencintai negaramu. Tapi masalahnya kita tidak bisa tinggal di sana (Afganistan), tidak aman. Jadi kita tidak punya pilihan, itu makanya kami pergi," kata dia menggunakan bahasa Inggris, kadang suaranya terlalu lirih sehingga perlu konsentrasi untuk mendengarkan kata-katanya.
Zakaria bertahan hidup dari belas kasih orang-orang. Itulah sebabnya para pengungsi memilih nongkrong seharian di pinggir jalan. Inilah satu-satunya cara menyambut bantuan yang datang.
"Kami tidak punya pilihan kecuali duduk di sini untuk mendapatkan makanan dan minuman. Orang-orang Indonesia baik, memberi kami uang. Tapi kalau kita tidak di jalan, kita tidak akan mendapat makanan dan minuman hari itu," kata Zakaria, yang hanya bersedia difoto jika memakai masker.
Abdul Zabi memegang payung, dan Ahmad Zakaria mengenakan masker, pengungsi Afganistan. (Adhi Indra Prasetya/detikcom) |
"Kami menunggu momen itu, dan kami tidak tahu kapan petugas itu akan datang lagi. Kalau kehilangan kesempatan, kami harus menunggu lebih lama," kata dia.
Ada pemilik toko yang berbaik hati mempersilakan Ahmad sekeluarga tidur di dalam tempat usahanya bila malam tiba. Namun kadang-kadang Ahmad juga harus tidur di emperan toko, termasuk bila hujan mengguyur. Sebagian pengungsi juga mendirikan tenda terpal biru di seberang Rudenim Jakarta. Ali sering tidur di tenda seperti itu.
Untuk kebutuhan mandi hingga buang hajat, ada toilet umum seharga Rp 3.000 tak jauh dari Rudenim. Sering terlihat pengungsi silih berganti menggunakan toilet itu. Ada pula toilet di Musala Al-Istiqomah yang sering digunakan sekadar untuk buang air kecil secara gratis. Baik Ahmad, Ali, maupun banyak pengungsi di sini, kenyamanan adalah nomor dua. Yang penting tidak kembali ke peperangan.
Simak berita-berita tentang balada pencari suaka di detikcom.
(dnu/fjp)












































Ali (membelakangi kamera) dan kawan-kawan pengungsi dari Afganistan di Kalideres. (Adhi Indra Prasetya/detikcom)
Abdul Zabi memegang payung. (Adhi Indra Prasetya/detikcom)
Abdul Zabi memegang payung, dan Ahmad Zakaria mengenakan masker, pengungsi Afganistan. (Adhi Indra Prasetya/detikcom)