Survei dilakukan LSI pada periode 8-24 Oktober dengan 2018 sampel menggunakan multistage random sampling dengan margin error 2,2 persen atau tingkat kepercataan 95 persen. Selain di Banten, survei dilakukan di Aceh, Sumut, Riau, Jatim, dan Maluku Utara. Sampel daerah berjumlah 380 responden dengan margin error 5,1 persen.
Peneliti LSI Rizka Halida mengatakan, ada 46 persen warga Banten yang mengatakan bahwa pemberian uang, barang, hiburan atau hadiah di luar ketentuan ke instansi Pemda sebagai pelicin saat administrasi sebagai kewajaran. Angka ini dinilai cukup tinggi dan menunjukan toleransi pada gratifikasi atau suap.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, persepsi pada nepotisme berkaitan urusan publik dengan pemerintah daerah juga terus mengalami peningkatan. Nepotisme dianggap normal dengan persentasi 17 persen pada 2016, 31 persen pada 2017, dan 39 persen warga Banten pada 2018 ini.
"Yang menilai nepotisme sebagai tindakan normal nampak meningkat dalam dua tahun terakhir," tambahnya.
Bahkan, ada 7 persen pada 2018 yang menggap bahwa nepotisme dianggap sebagai kewajaran.
Menurutnya, survei ini menunjukan bahwa perlu ada edukasi ke warga Banten mengenai perilaku korupsi atau tidak. Sistem pemerintah daerah juga perlu mendapatkan kontrol lebih oleh masyarakat sipil.
"Edukasi ini menjadi maraton dan usaha panjang, warga melihat pemberantasan korupsi solusinya hanya KPK. Padahal KPK terbatas dan perlu partisipasi," katanya.
Sementara aktivis anti-korupsi Ade Irawan mengatakan permisifnya warga Banten terjadap korupsi sejalan dengan temuan ICW saat politik uang pada PIlkada lalu. Politik uang, gratifikasi dan nepotisme masih dianggap sebagian warga sebagai berkah.
"Temuan kami politik uang murahan ada di Banten. Di sini politik uang bisa dengan 3 buah indomie. Ini mengkawatirkan," ujarnya.
(bri/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini