"Dalam masyarakat yang sangat saturated informasi, kubu Jokowi-Ma'ruf Amin masih cenderung menggunakan pendekatan elitis: keberhasilan pembangunan, visi masa depan, revolusi industri 4.0, dan lain-lain. Sementara kubu Prabowo-Sandiaga bicara gaji dokter serendah tukang parkir, selang cuci darah untuk 40 orang, kertas suara sudah dicoblos duluan," kata Firman saat berbincang, Kamis (17/1/2019).
Firman lalu menganalisis pendekatan keduanya dengan Elaboration Likelihood Model. Dia menjelaskan, dalam mengolah informasi, manusia memiliki dua kemampuan yang mempengaruhi kecenderungannya, yaitu sentral dan peripheral.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sedangkan aspek peripheral adalah aspek-aspek tambahan, di luar informasi inti sesuatu yang dikomunikasikan. Dalam konteks kampanye, misalnya, informasi yang dikemukakan tentang pakai tidak pakai peci, pilihan pakaian, makan siang apa yang disantap kandidat, hampir tidak ada hubungannya dengan aspek kinerja kandidat. Aspek peripheral digunakan ketika audiens rendah motivasinya untuk mengolah informasi dan tidak memiliki kemampuan mengolah informasi," sambung pria yang juga pakar komunikasi digital ini.
![]() |
Idealnya, kata Firman, kedua kemampuan dan kecenderungan ini digunakan secara bergantian oleh komunikator. Ketika berhadapan dengan tuntutan memperoleh informasi yang terkait hal-hal kritis, seperti investasi dan keamanan, maka gunakan aspek sentral. Saat orang apatis dan sulit mencerna gagasan kompleks, mereka kemas dengan pendekatan peripheral.
Lalu bagaimana dengan Jokowi vs Prabowo?
"Kalau pakai elaboration likelihood hood model, Jokowi pakai jalur sentral, Prabowo pakai jalur peripheral. Ketika masyarakat Indonesia hari ini rata-rata pendidikannya adalah SMP, maka pendekatan peripheral yang lebih diproses. Itu mendongkrak elektabilitas," ujar Firman.
Saksikan juga video 'Persiapan Debat, Jokowi: Yang Penting Data Sesuai Fakta':
(tor/fjp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini