Pada 18 Januari 1966, Presiden Sukarno (Bung Karno) menerima 10 pentolan aktivis mahasiswa di Istana Merdeka. Mereka antara lain Cosmas Batubara, David Napitupulu, Mohammad Zamroni, Tommy Wangke, Liem Bian Koen (Sofjan Wanandi), Aberson Marle Sihaloho, Djoni Sunarja, Firdaus Wajdi, Suwarto, dan Abdul Gafur. Sementara Presiden didampingi Menteri Koordinator Hubungan Rakyat Roslan Abdoelgani, Menteri Perkebunan Frans Seda, dan Menteri Perguran Tinggi Syarief Thayeb.
![]() |
Tapi pertemuan itu ternyata cuma menjadi ajang Presiden meluapkan kekesalannya karena aksi-aksi mereka menuntut pembubaran PKI. Si Bung menuding para mahasiswa telah diperalat Duta Besar AS Marshal Green untuk menjatuhkan dirinya. Dia juga murka karena para mahasiswa ikut mengolok-olok salah satu istrinya, Hartini.
"Untuk pertama kali saya baru melihat seorang Presiden begitu emosional dengan suara sangat lantang. Kepala kami semua tertunduk ketika beliau berbicara dengan nada suara yang tinggi," tulis Abdul Gafur dalam otobiografi "Abdul Gafur Zamrud Halmahera" yang diluncurkan, Kamis (10/1/2019) di Balai Kartini, Jakarta.
Tampak hadir dalam acara itu antara lain para mantan menteri di era Orde Baru seperti Prof Emil Salim, Prof JB Sumarlin, Cosmas, Akbar Tanjung, Harmoko, Agung Laksono, dan Dubes RI untuk Lebanon, Hajriyanto Y. Thohari.
Baca juga: Abdul Gafur Melintasi 6 Zaman - 7 Presiden |
Satu persatu mahasiswa yang hadir disemprotnya. Ketika Cosmas yang menjadi ketua rombongan menyampaikan petisi Tritura (Tri Tuntutan Rakyat), Bung Karno murka bukan kepalang. "Saudara Cosmas, sebagai orang Katolik, kok Anda berani melawan saya, dan tidak menghargai saya. Padahal Bapak Paus saja menghargai saya, memberikan penghargaan," katanya seraya menoleh ke arah Menteri Fran Seda yang juga Katolik.
Sebelumnya suasana sempat sedikit cair ketika Abdul Gafur yang muslim balas mencandai sang Pemimpin Besar Revolusi usai dimarahi. Meski ciut nyali seperti para mahasiswa lainnya, Gafur mengaku berusaha membela diri. Dia menyusun kalimat sedemikian rupa dengan maksud menurunkan emosi si Bung.
"Ayah saya berasal dari Aceh dan ibu saya dari Maluku Utara. Jadi saya sebenarnya putra Indonesia asli, Bapak Presiden. Maka saya pantas untuk memperoleh putri Bapak Presiden," timpal Gafur usai didamprat Bung Karno.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pancingannya sedikit berhasil. Bung Karno tertawa terbahak-bahak, lalu dengan sinis menepis angan-angan Gafur. "Kau berdemonstrasi untuk menurunkan saya dan sekarang kau mau putri saya. Tidak bisa Abdul Gafur," kata Bung Karno, kembali diiringi tawa terbahak. Sejurus kemudian si Bung meminta Roeslan untuk memimpin pertemuan, lalu dia meninggalkan ruangan.
Usia pertemuan itu, Abdul Gafur mengaku amat kecewa dengan sikap Bung Karno yang tak menggubris Tritura. Padahal saat pertama kali jumpa di Halmahera ketika dirinya masih pelajar HIS (setingkat SD), pidato Presiden Bung Karno lah yang melecut motivasinya untuk bercita-cita menjadi orang besar di tanah Jawa.
Kekecewaan itu kembali terobati ketika dalam pertemuan berikutnya, Juli 1966. Kala itu Bung Karno tampil lebih 'jinak' dan kebapakan. Dialog berlangsung lebih hidup, meskipun apa yang dituntut tak direspons sesuai harapan. "Kekecewaan saya terhadap Bung Karno lenyap manakala melihat beliau jatuh sakit dan dirawat di RSPAD Gatot Subroto," tulis Gafur.
Dia kemudian merujuk perhabatan antara Bung Karno dan Bung Hatta. Meskipun keduanya punya perbedaan yang amat tajam, tapi sebagai teman silaturahim tetap terjalin dengan baik. "Kenyataan itu menjadi perenungan, bagaimanapun jasa Bung Karno yang telah menghalau kolonialisme Belanda dan menghadirkan Indonesia Merdeka sangat patut dihargai dan dihormati," ujarnya.
(jat/jat)