Y.A. Erlangga, Delft University of Technology
Saat Take-Off Memang Krusial
Kamis, 08 Sep 2005 15:43 WIB
Den Haag - Geometri normal pesawat hanya optimal pada fase jelajah, tidak pada fase take-off dan landing. Kebiasaan cincai menyusupkan beban bagasi bisa berakibat sangat fatal.Pesawat terbang itu bukan praoto (lidah Surabaya untuk truk, dari bahasa Belanda: vrachtauto), di mana orang dapat sesukanya menjejal bagasi agar terangkut. Kelebihan beban yang diangkut pesawat dari ketentuan dapat menimbulkan celaka maut. Yogi Ahmad Erlangga dari Delft University of Technology, Belanda, melalui email yang diterima detikcom, 7/9/2005, menjelaskan bahwa pesawat biasanya dirancang optimal pada kondisi jelajah, karena 95 persen operasional pesawat dilakukan pada fase jelajah. Sebagai konsekuensi, geometri normal sebuah pesawat hanya optimal pada fase tersebut, tetapi tidak optimal pada fase take-off dan landing.Dalam kondisi jelajah mesin bekerja pada 70-80 persen kemampuan maksimalnya. Ketika take-off, mesin harus diset 100 persen bahkan kadang lebih dari itu agar pesawat dapat berakselerasi maksimal. Pada kondisi ini semua sudu kompresor, turbin dan gearbox bekerja pada putaran maksimal (6.000-14.000 RPM saat gaya dorong take-off). Suhu ruang bakar dan turbin saat itu bisa mencapai 1.500 C. "Kombinasi antara putaran tinggi, tekanan dan temperatur tinggi membuat semua komponen mesin menjadi rentan terhadap kegagalan fatigue akibat beban dinamik yang menimbulkan retak kecil merambat dan rupture atau deformasi pada suhu tinggi," kata Yogi.Untuk pesawat penumpang bermesin jet, sayapnya didesain optimal untuk penerbangan pada kecepatan jelajah Mach 0.78 (sekitar 750 km/jam) pada ketinggian jelajah 30.000-36.000 kaki. Saat take-off atau landing, kecepatan pesawat turun menjadi sekitar 120-200 Knot (220-360 km/jam). Karena pesawat dalam kondisi tidak optimal pada kecepatan tersebut, teknik khusus harus digunakan agar pesawat bisa take-off dan landing dengan baik dan aman.Teknik khusus tersebut yakni dengan menggunakan flap, spoiler, juga maximum thrust (dalam kondisi direct atau reversed) untuk take-off dan landing. Flap dipakai untuk menaikkan gaya angkat pada kecepatan rendah saat take off dan landing. Spoiler digunakan untuk membantu pengereman saat landing. Ada banyak kasus di masa lalu, di mana saat take-off, flap tidak berfungsi. "Karena itu, saat menjelang take-off, flap harus diaktifkan sebelum pesawat mulai taxying yang kemudian dicek oleh kru di darat. Tanpa flap, pesawat dengan berat take-off maksimal (MTOW) 52 ton seperti Boeing 737 tidak akan bisa take-off pada landasan dengan panjang terbatas," ujarnya.Demikian krusialnya take-off dan landing, sehingga pesawat dituntut selalu dalam kondisi prima dan wajib dipatuhi persyaratannya, misalnya tidak boleh kelebihan beban. Beban yang teregister, harus sesuai dengan yang masuk ke pesawat. Biasanya, barang-barang penumpang dibagi menjadi dua: bagasi dan kabin (allowance). Dalam perancangan, overhead compartment (kabin) hanya dihitung untuk beban maksimal 15 lbs (7,5 kg) per kursi dengan faktor keselamatan 1.1-1.2. Untuk bagasi batas maksimal berat rata-ratanya adalah 60 lbs/kursi.Faktor LuarSelain itu kondisi udara juga sangat mempengaruhi kemampuan pesawat dalam menghasilkan gaya angkat dan kemampuan mesin untuk menghasilkan gaya dorong. Udara yang tipis menghasilkan gaya angkat dan gaya dorong yang lebih rendah. Dengan berat take-off yang sama, akan dibutuhkan jarak take-off yang lebih panjang dan kecepatan mendarat yang lebih tinggi.Situasi pada saat take-off dan landing menjadi lebih krusial karena pilot sering dihadapkan pada atmosfer yang kadang tidak normal akibat interferensi dengan daratan. Sebuah pesawat F-16 TNI AU meledak di landasan Halim Perdanakusuma karena menjelang touch-down, aliran udara down-wash menghempaskan pesawat ke landasan. Contoh lainnya, sebuah pesawat ATR milik Canadian Air jatuh beberapa km dari landasan, karena dalam kondisi berkabut penggunaan flap telah menyebabkan suhu udara lokal di sekitar sayap turun hingga di bawah suhu beku air dan membentuk konfigurasi es yang mengunci mati engsel permukaan kendali dan membangkitkan turbulensi.Di samping itu mesin jet juga sangat rentan oleh intrusi benda asing. Beberapa pesawat mengalami kegagalan mesin karena mesin dimasuki oleh benda asing yang mungkin bertebaran di sekitar landasan, atau melayang pada ketinggian rendah. Dalam istilah airworthiness ini dikenal sebagai foreign object damage (FOD). Yang paling sering menjadi sumber FOD adalah burung. Salah satu kecelakaan fatal akibat FOD adalah pesawat supersonik Concorde milik Air France, yang jatuh setelah mesin turbojetnya dimasuki karet roda pendarat yang lepas saat take-off. Pesawat dengan mesin jet menggantung di bawah sayap atau di bawah badan biasanya mempersyaratkan taxi-way (landasan) yang bersih. "Dengan daya hisap tinggi, terutama saat take-off, semua benda kecil seperti butiran aspal, puntung rokok, kaleng, bahkan burung dapat dengan mudah terhisap oleh mesin. Tidak heran jika landasan banyak terbuat dari beton, bukan aspal," demikian Yogi.
(es/)