Robby dikenai Pasal 296 KUHP yang berbunyi:
Barang siapa yang mata pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Persoalan hukum yang dipermasalahkan Pemohon adalah kebijakan kriminal, dalam arti menjadikan suatu perbuatan yang sebelumnya bukan perbuatan pidana menjadi perbuatan pidana, di mana kebijakan demikian adalah politik hukum pidana yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang," ujar Ketua MK Arief Hidayat dalam sidang yang terbuka untuk umum di gedung MK pada 5 April 2017.
Putusan tersebut diketuk secara bulat oleh sembilan hakim konstitusi.
"Apalagi yang dipersoalkan dalam permohonan a quo adalah tentang pidana yang berkait dengan penghukuman terhadap orang/manusia, sehingga bahkan pembentuk undang-undang pun yang meskipun memiliki kewenangan. Untuk itu, dalam merumuskan suatu perbuatan sebagai perbuatan yang dapat dipidana (strafbaar feit) harus sangat hati-hati," ucap MK.
Tonton video: Selain Vanessa, Deretan Artis Ini Sempat Tercoreng karena Prostitusi
Menurut MK, menyatakan suatu perbuatan yang semula bukan perbuatan pidana menjadi perbuatan pidana harus mendapat kesepakatan dari seluruh rakyat yang di negara Indonesia diwakili oleh para DPR bersama dengan presiden.
"Dengan demikian, dalam hubungannya dengan permohonan a quo, persoalannya adalah bukan terletak pada konstitusionalitas norma, melainkan pada persoalan politik hukum, dalam hal ini politik hukum pidana," tegas MK.
Telah menjadi pengetahuan bagi kalangan ahli hukum bahwa kehati-hatian dalam merumuskan hukum pidana sangat dibutuhkan karena sifat khusus yang dimiliki oleh hukum pidana itu, yakni adanya penderitaan yang bersifat khusus (bijzondere leed) dalam bentuk hukuman kepada pelanggarnya yang mencakup pembatasan atau perampasan kemerdekaan, bahkan nyawa.
"Oleh karena itulah, hukum pidana diposisikan sebagai 'obat terakhir' (ultimum remedium) untuk memperbaiki prilaku manusia, setelah didahului oleh pemberlakuan norma hukum maupun norma-norma kemasyarakatan lainnya," papar MK.
Demikianlah sehingga kehati-hatian bukan hanya diperlukan dalam merumuskan perbuatan apa yang dilarang dan dapat dipidana (ius poenale, strafrecht in objectieve zin), tetapi juga karena dari rumusan itu akan ditentukan hak negara untuk menghukum (ius puniendi, strafrecht in subjectieve zin) sehingga negara benar benar terbebas dari 'tuduhan' main hakim sendiri.
"Dalam hubungan ini, penting kiranya untuk selalu diingat pernyataan ahli hukum pidana Hezewinkel-Suringa 'Noch aan de staat, noch aan der logere publiekrechtelijke organen komt op strafrechtelijk terreein eigenrichting toe' (Dalam bidang hukum pidana, baik negara maupun suatu badan, yang bersifat hukum publik yang lebih rendah lainnya, tidak berwenang main hakim sendiri)," putus MK. (asp/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini