Gambar nomor 1 adalah gambar Pulau Anak Krakatau sebelum erupsi yang menimbulkan tsunami, citra satelit diambil pada 20 Agustus 2018.
Gambar nomor 2 adalah gambar Pulau Anak Krakatau di hari tsunami terjadi, pada 22 Desember 2018 lalu. Terlihat yang dibatasi garis merah adalah area seluas 64 hektar yang longsor ke laut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gambar nomor 3 adalah gambar Pulau Anak Krakatau 2 hari setelah tsunami terjadi, pada 24 Desember 2018.
![]() |
"Sejak dinding barat yang dilongsorkan menimbulkan tsunami tanggal 22 Desember 2018, kemudian disusul dengan runtuhan dinding yang lain secara perlahan. Runtuhnya dinding tanggal sejak 22 Desember ini terus terjadi dan terekam pada citra satelit yang diambil 24 Desember, terlihat sudah menelan hampir separo luas permukaan dari Pulau Anak Krakatau," papar mantan Ketua Umum Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) ini.
Gambar nomor 4 adalah citra satelit yang diambil pada 27 Desember 2018. Tampak daerah longsoran pada 22 Desember lalu sudah tertutup kembali.
"Citra gambar terbaru tanggal 27 Desember ini memperlihatkan adanya daratan miring (landaian) dari Anak Krakatau. Seolah-olah gunung ini memperbaiki sendiri luka-luka akibat longsoran sebelumnya," demikian tulis Rovicky.
Namun apakah benar Anak Krakatau sudah memulihkan dirinya sendiri? Rovicky memaparkan dua kemungkinan.
1. Interpretasi citra satelitnya kurang tepat, karena citra yang tertutup oleh hembusan abu dan uap air (steam). Dari kajian tsunami yang terbentuk, memang membutuhkan volume tertentu sehingga cukup untuk mendorong air supaya terbentuk tsunami. Sehingga sangat wajar bila ada cukup besar volume yang ambrol.
2. Pertumbuhan dan penambahan material yang sangat besar sehingga Gunung Anak Krakatau mampu secara cepat mengobati luka hasil longsoran.
![]() |
Karena perubahan yang sangat cepat ini, lanjut Rovicky, menjadikan sebuah pemahaman bagaimana tsunami terbentuk, apa yang menjadi pemicu utamanya. Nah dengan pemahaman pemicu tsunami ini akan dibuat sistem peringatan dini sesuai dengan genesa terbentuknya.
"Kalau longsor hanya dengan getaran kecil mampu membuat longsor yang menimbulkan tsunami, maka potensi longsoran perlu dimonitor detil. Kalau letusan besar menyebabkan longsoran, maka perlu monitor magma, perilaku magma, dan juga geomagma, tipe, kimiawinya, tren perubahannya dan sebagainya. Jadi memahami bagaimana terbentuknya tsunami ini menjadi sangat penting," jelas dia.
Tonton juga video 'Anak Krakatau Erupsi, Menhub: Jalur Penerbangan & Penyeberangan Aman':
(nwk/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini