"Ibaratnya, alat semula untuk mendeteksi getaran besar seukuran gajah diubah untuk bisa mendeteksi getaran yang lebih kecil seukuran semut," kata Dwikorita dalam wawancara khusus dengan detikcom, Jumat (28/12).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah dikaji ulang dengan meminta data tambahan dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) diketahui bahwa Gunung Anak Krakatau sekitar 20 menit sebelumnya telah erupsi. Atas dasar itu akhirnya disimpulkan bahwa gelombang tinggi yang terjadi merupakan tsunami.
"Tsunami akibat gempa vulkanik ini pernah terjadi di Palu pada September lalu, dan tsunami akibat vulkanik Krakatau ini yang kedua kalinya setelah erupsi pada 1927," kata ahli geologi bencana lulusan dari Leeds University, Inggris itu.
Pada Sabtu malam lalu PVMBG mencatat erupsi Krakatau terjadi pada pukul 21.03, dan tsunami tercatat sekitar 20-an menit kemudian. Andai informasi bisa segera diterima ke BMKG, Dwikorita optimistis, sirine peringatan potensi tsunami dapat lebih awal diberikan kepada masyarakat dan kemungkinan jatuhnya korban bisa lebih minimal.
Ke depan, BMKG meminta akses langsung terhadap data PVMBG agar dapat memberikan antisipasi lebih dini. Sambil menunggu pemasangan alat yang baru, BMKG mengubah sensitifitas peralatan yang ada agar memungkinkan bisa ikut mendeteksi getaran akibat erupsi gunung api.
Saksikan juga video 'Eksklusif Kepala BMKG: Negeri Darurat Tsunami':
(jat/erd)











































