Maraknya Pernikahan Anak di Sulsel dan Angin Segar MK

ADVERTISEMENT

Kaleidoskop 2018

Maraknya Pernikahan Anak di Sulsel dan Angin Segar MK

Muhammad Taufiqqurahman - detikNews
Kamis, 27 Des 2018 16:13 WIB
Makassar - Pernikahan bocah sepanjang 2018 di Sulawesi Selatan (Sulsel) kerap menjadi sorotan publik. Kultur masyarakat setempat dianggap sebagai penyebab utama seringnya terjadi pernikahan dini di provinsi ini.

Dirangkum detikcom, Kamis (27/12/2018), pada bulan April 2018, dua orang bocah berusia 14 dan 15 tahun menikah di Kabupaten Bantaeng, Sulsel. Sebelum menikah, orangtua kedua anak ini sempat mengajukan permohonan dispensasi ke Pengadilan Agama setempat.

Wakil Ketua Pengadilan Agama Bantaeng, Ruslan Saleh mengatakan bahwa aspek budaya lokal menjadi pertimbangan pengadilan agama setempat meloloskan pernikahan itu. Namun sebelum dispensasi itu dikeluarkan, pihaknya terlebih dulu memberikan pandangan soal rentannya perceraian bagi pasangan yang melakukan nikah dini.

Dia menambahkan, proses pengajuan dispensasi menikah ini tidak berbeda dengan prosedur pengajuan perkara biasa. Yakni ada pendaftaran, pemanggilan, dan sidang. Keputusan yang diambil pun tidak melulu pada aspek hukumnya, tapi juga harus melihat aspek sosial kultural masyarakat setempat.

"Seperti yang ada di Bantaeng ini, karena masyrakat di sini berasal dari Suku Makassar-Bugis, maka majelis hakim selalu mempertimbangkan dengan adanya budaya siri' na Pacce (malu dan kasih). Karena sering terjadi masalah di belakang hari, ketika desakan dari masyarakat untuk menikahkan seseorang yang dinilai sudah layak namun tidak dikabulkan itu bisa berbuntut panjang, hal ini juga yang patut diperhatikan majelis hakim. Jadi kami ikut mengacu pada kearifan lokal," terang Ruslan.

Sementara itu, sang ayah bocah pria ini, Sangkala mengutarakan bahwa pernikahan keduanya menjadi jalan tepat untuk menghindari hal-hal negatif terhadap kedua remaja yang sudah menjalin hubungan itu. Apalagi, kedua anak ini telah sering terlihat berboncengan berdua kemana-mana.

Tidak lagi cukup sebulan, kasus serupa terjadi di Kabupaten Sinjai. Kali ini, perempuan usia 12 tahun hendak menikah dengan seorang pria berusia 22 tahun yang menjadi TKI di Malaysia. Pesta pernikahan keduanya yang erlah disiapkan akhirnya gagal setelah penghulu menolak datang ke acara pasangan itu.

Ayah perempuan, Basri mengatakan bahwa tidak ada satu pun penghulu yang mau menikahkan anaknya lantaran takut terbentur dengan aturan hukum yang ada. Padahal, panggung pelaminan beserta aneka macam hidangan sudah siapkan. Selain itu, acara hiburan yang diperuntukkan buat tamu undangan telah lengkap.

Akibat batalnya pernikahan ini, pihak laki-laki sempat meminta kembali uang mahar yang diberikan kepada pihak perempuan.

Yang paling menonjol, adalah pernikahan dini di daerah Bantaeng yaitu anak yang baru tamat SD berusia 13 tahun menikahi gadis berusia 17 tahun. Hal ini menimbulkan pertanyaan dari beberapa pihak, salah satunya Kementerian Agama setempat saat ini tengah melakukan penelusuran terkait pernikahan tersebut. Selain itu, pihak KUA juga menyebut pernikahan itu berlangsung dengan cara nikah siri, sebab pihak KUA tidak ada diundang saat pernikahan berlangsung.

"Kita lakukan penelusuran karena pernikahan ini tidak didaftarkan ke KUA karena pasti akan ditolak," kata pejabat Humas Kemenag Bantaeng, Mahdi.

Namun di bulan Desember 2018, angin segar soal perlindungan anak-anak soal batal usia pernikahan berhembus dari Mahkamah Konstitusi (MK). Lembaga ini memberi perintah kepada DPR untuk merevisi batas pernikahan anak, khususnya batas usia pernikahan antara perempuan dan laki-laki yang dianggap diskriminatif.

Hak-hak konstitusional dimaksud salah satunya, hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sebab jika merujuk ke UU tentang Perlindungan Anak, usia 16 tahun masih tergolong anak-anak. Sedangkan jika sudah menikah akan berubah stastusnya menjadi dewasa.

"Sementara bagi laki-laki perubahan demikian baru dimungkinkan jika telah kawin pada usia 19 tahun.Lalu hak perempuan untuk tumbuh dan berkembang sebagai anak, sebagaimana diatur dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, juga mendapatkan perlakuan berbeda dari laki-laki di mana laki-laki akan menikmati hak itu dalam rentang waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan perempuan," tulis MK.

Gugatan terhadap UU Perkawinan ini dilayangkan oleh Maryanti (30) dan Rasminah (28). Keduanya mengajukan permohinan judicial review Pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan mengenai batas usia perkawinan laki-laki dan perempuan.

Gayung bersambut, usai putusak ini diketok di MK, Kementerian Agama (Kemenag) melalui Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menggap putusan itu telah memenuhi rasa keadilan di masyarakat. Karena itu, ia menilai tak perlu ada perbedaan usia minimal pernikahan untuk laki-laki maupun perempuan.

"Saya menilai putusan MK itu adil. Saat ini memang tidak perlu ada pembedaan batas minimal usia perkawinan, baik bagi laki-laki maupun perempuan,"kata Lukman.

Di pihak legislatif, Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) menyatakan DPR siap menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk merevisi batas usia perkawinan dalam UU Perkawinan No 1/1974. DPR diberikan waktu tiga tahun oleh MK untuk merevisi UU tersebut. Pihaknya juga akan bekerja sama dengan pemerintah dalan merevisi UU Perkawinan. Bamsoet pun mendorong Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengkaji batas usia perkawinan bagi laki-laki dan perempuan.

Tidak lupa, Kementerian Sosial (Kemensos) diminta untuk mengkaji dampak sosial perkawinan usia dini.


Saksikan juga video 'KPAI Imbau KUA Tidak Berikan Izin Pernikahan Dini':

[Gambas:Video 20detik]

(fiq/asp)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT