Pantai Riau yang begitu panjang menyulitkan untuk melacak penyelundupan narkoba yang memanfaatkan palabuhan tikus. Para mafia juga melibatkan sejumlah nelayan dalam bertransaksi narkoba di tengah laut Selat Malaka.
Salah satu wilayah perairan yang kerap sebagai tempat penyelundupan adalah Dumai, Bengkalis dan Kabupaten Meranti Riau. Wilayah perairan ini dijadikan sasaran para mafia narkoba untuk membawa barang haram tersebut dari Malaysia.
Pengiriman narkoba jenis sabu dan ekstasi tidaklah sama dengan penyelundupan seperti bawang merah atau barang-barang lainnya yang sudah dilihat. Jika penyelundupan bawang merah, misalnya, maka akan mudah terlacak oleh aparat. Ini karena untuk membongkar atau memuatnya kembali dalam truk untuk segera dibawa dari pelabuhan akan mudah ketahuan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau narkoba memang sulit terlacak. Mereka tidak perlu bersandar di pelabuhan, dan tidak perlu bongkar muat. Sebab, bungkusan narkoba lebih kecil dan gampang untuk dibawa nelayan," kata Kapolres Dumai, AKBP Restika Nainggolan kepada detikcom, Kamis (27/12/2018).
Jaringan mafia narkoba ini dalam bertransaksi menggunakan mata rantai yang terputus. Mereka bisa jadi bertransaksi di tengah laut yang melibatkan sejumlah nelayan.
Dari nelayan yang satu ke nelayan yang lain saling tidak berhubungan. Tugas mereka hanya disuruh mengantarkan ke tujuan yang telah ditentukan titiknya di tepi pantai.
"Nanti di tepi pantai sudah ada yang menjemputnya. Antara mereka sendiri tidak saling kenal, begitulah sistem mata rantai yang mereka lakukan," kata Restika.
Begitupun jajaran Polres Dumai tetap menyakan 'perang' terhadap narkoba yang akan merusak generasi bangsa Indonesia itu. Selama tahun 2018, Polres Dumai pernah menyita 26 Kg sabu yang masuk lewat perairan Dumai.
"Biasanya dari Dumai, barang haram ini akan menyebar ke sejumlah provinsi lainnya. Bisa ke Sumut, atau ke kota lainnya," kata Restika.
Dalam catatan penangkapan narkoba ini, pada 2 Mei 2018 lalu, misalnya, Polda Riau bersama Polres Bengkalis pernah mengungkap narkoba dengan barang bukti 55 Kg sabu dan 46 ribu butir ekstasi.
Barang bukti ini dibawa dari Malaysia yang memanfaatkan pelabuhan tikus di Bengkalis. Ada 3 orang kala itu ditetapkan sebagai tersangka.
Pada 3 Agustus 2018, lagi-lagi Polda Riau berhasil menguak peredaran narkoba dengan barang bukti 33 Kg serta 42.500 butir ekstasi. Jaringan internasional narkoba ini tetap melakukan penyelundupan dari jalur tikus Bengkalis. Dalam kasus ini ada 5 orang dijadikan tersangka.
Terus dan terus, narkoba asal luar negeri membanjiri Riau sebagai daerah transit. Itu sebabnya, menurut Irjen Nandang saat menjabat Kapolda Riau 2018, pernah menyebutkan pantai Riau basis terbesar ke tiga surga penyelundupan buat mafia.
"Provinsi Riau termasuk salah satu daerah terbesar dalam peredaran narkoba, untuk peredaran sabu Riau menduduki peringkat ke tiga dari seluruh jajaran Polda yang ada di Indonesia," kata Irjen Nandang pada Jumat (20/4/2018) di hadapan Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto saat melakukan kunjungan kerja ke Riau.
Di Pekanbaru misalkan. Ibu Kota Provinsi Riau ini juga sebagai daerah transit ketika barang haram itu selamat dari sergapan aparat di pantai. Dari Pekanbaru, narkoba akan didistribusikan ke kota lainnya, termasuk Jakarta.
Bandara Sultan Syarif Kasim (SSK) II di Pekanbaru beberapa kali berhasil menangkap penyelundup narkoba. Barang bukti sabu dibentuk sedemikian rupa agar bisa diletakan di selangkangan. Narkoba jenis sabu itu acap kali terjaring petugas di Bandara SSK II Pekanbaru.
Biasanya bila tertangkap, pihak Bandara SSK akan segera berkoordinasi dengan Polresta Pekanbaru. Selanjutnya jajaran Polresta Pekanbaru dibawa tampuk pimpinan Kombes Susanto akan bergerak cepat untuk mengungkap jaringan lainnya.
Dalam pelacakan tersebut, Polresta Pekanbaru kembali mengungkap jaringan lainnya yang akan membawa sabu ke tujuan Jakarta. Para pelaku biasanya ditangkap di hotel, setelah rekannya lebih awal tertangkap di Bandara.
Mereka biasanya kurir. Tugasnya dari provinsi luar luar datang untuk menjemput sabu. Dari beberapa yang pernah tertangkap, malah pelakunya ada yang berstatus mahasiswa.
Mengapa mereka tergiur jadi kurir narkoba? "Dari beberapa tersangka yang kita amankan, mereka tergiur besarnya upah untuk membawa narkoba. Untuk satu kilogram upahnya bisa mencapai Rp 10 jutaan. Biasanya itu baru dibayarkan setelah mereka berhasil membawa dari Riau ke Jakarta," kata Kombes Susanto kepada detikcom.
Besarnya upah menjadi kurir narkoba inilah, mereka pun nekat untuk mencari keuntungan dengan risiko hukuman yang cukup berat. Walau acap kali kurir narkoba berhasil ditangkap di Riau, namun hal itu tidak menghentikan aktivitas peredaran narkoba.
Malah sejumlah kasus yang berhasil diungkap jajaran Polda Riau, para bandar narkoba ini dikendalikan dalam penjara. Ini dibuktikan tertangkapnya barang bukti 12 Kg sabu yang lagi-lagi dibawa dari Malaysia pada Minggu (9/12/2018).
Ditresnarkoba Polda Riau berhasil menangkap 4 orang pelakunya. Mereka adalah, Geri Heryanto (31) warga Selat Gunung, Kel Selat Gunung, Kecamatan Sabak Auh Kabupaten Siak. Selanjutnya, Indrawan bin Ayang alias Indra warga Desa Api-api Kabupaten Bengkalis.
Samsudin alias Udin (43) kelahiran Kalimantan Barat wara Kecamatan Bandar Laksamana, Bengkalis. Terakhir, Supriadi bin Suharto alias Adi Mamang alias Adi kelahiran Aek Kanopan, Kabupaten Labuhan Batu, Sumut. Beralamat di Jl Seroja Gang Melati No 4 Kecamatan Medan.
"Kedua tersangka Indrawan dan Samsudin merupakan Napi di Bengkalis yang berperan sebagai perantara dan pengendari narkoba," kata Wadir Resnarkoba Polda Riau, AKBP Andri Sudarmadi.
Dalam catatan akhir tahun, jajaran Polda Riau berhasil menyita 320 kg sabu. Jumlah barang bukti tersebuh jauh lebih banyak dari target hanya 200 Kg.
Dari 320 Kg tersebut, Polda Riau mengungkap 1.625 kasus dengan jumlah tersangka yang cukup fantastis selama tahun ini mencapai 2.261 orang. Mereka itu terdiri dari pemakain, kurir dan pengendali.
Sementara itu, Kriminilog Universitas Riau (UIR) Dr Kasmanto Rinaldi menilai harus ada dukungan dan support diberikan kepada pihak Polda Riau beserta institusi lainnya dalam upaya nya memberantas peredaran narkoba terutama di wilayah Riau dan sekitarnya.
"Tidak dapat dipungkiri bahwa problematika dan dinamika berbagai peristiwa kejahatan akan senantiasa mengalami pembaharuan kejadian baik dalam hal kuantitas maupun kualitas. Keadaan dan permasalahan ini dilatarbelakangi oleh pelaku maupun kelompoknya yang senantiasa berupaya memanfaatkan "celah-celah" yang tersedia. Demikian pula kejahatan akan narkoba, yang memiliki daya pikat yang tinggi sampai saat ini," Kasmanto kepada detikcom, Kamis (27/12/2018).
Tanpa disadari meskipun memiliki resiko hukuman yang tinggi, namun narkoba memiliki nilai keuntungan yang sangat menjanjikan. "Dalam kriminologi, hal ini di kenal dengan kejahatan sebagai rational choice oleh pelaku demi mendapatkan keuntungan yang besar. Ini bisa dilihat dalam proses penyelundupan hingga sampai kepada pemasarannya," kata Kasmanto.
Menurutnya, keadaan geografis wlayah Provinsi Riau yang bisa diakses lewat jalur laut darat dan udara, menjadikan Riau ini sebagai salah satu destinasi narkoba yang menjanjikan di negeri ini.
Keberadaan wilayah laut yang memiliki banyaknya pelabuhan ilegal dapat di jadikan pintu masuk menuju berbagai tujuan. Jalur masuk narkoba melalui jalur laut yang tidak resmi (pelabuhan tikus) bahkan melibatkan pelaku dari negara tetangga yang berbatasan dengan Indonesia. Transaksi biasanya dilakukan ditengah laut dengan memanfaatkan sarana dan fasilitas yang mereka miliki. Dalam konteks pemasarannya pelaku dan kelompok kejahatan narkoba sudah memiliki "market" yang tersedia.
Dalam pembahasan tipologi korban, kata Kasmanto, pengguna narkoba dapat digolongkan sebagai self-victimizing victim,yakni mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri. Pertanggung jawaban terletak penuh pada si pelaku, yang sekaligus menjadi korban. Di mana 'victim' dalam konteks ini berperan aktif untuk mendapatkan narkoba itu sendiri.
"Meskipun di beberapa literatur lainnya dikatakan tergolong ke dalam crime without victim, yang dalam artian teoritis adalah kejahatannya ada namun korbannya tidak "dirugikan". permisifitas atau tingkat ketergantungan yang tinggi dari "korban" ini yang mengakibatkan pemasaran narkoba tidak akan pernah ada usainya," kata Wakil Dekan III Fisipol UIR itu.
Apalagi momentum akhir tahun yang bisa saja menjadi "pesta" dikalangan atau kelompok masyarakat tertentu sehingga menyebabkan arus masuknya narkoba seakan tak terbendung. Selain itu, potensi nilai jual dan keuntungan narkoba memiliki peminat yang tinggi, dan menyebabkan peredaran nya tidak hanya berhenti di perkotaan, namun akan menyentuh ke ruang-ruang manapun termasuk wilayah pelosok sekalipun.
Hal ini cukup menjanjikan, mengingat peluang komersialisasi narkoba memungkinkan untuk mendapatkan pasar uang lebih. Selain faktor kecanduan masyarakat juga karena saat ini beberapa kelompok masyarakat dari berbagai kalangan dan usia "lebih" mudah untuk melakukan transaksi dan penggunaan narkoba itu sendiri.
"Persoalan lainnya adalah masifnya peredaran narkoba bisa menyentuh berbagai sektor atau wilayah baik darat maupun laut. Dalam konteks pengendalian oleh pelakunya, maka Lapas dapat dikatakan sebagai wilayah yang belum "suci" dari peredaran narkoba," kata Kasmanto.
Kasmanto menyebutkan, dinamika ini seakan-akan menjadi penyakit yang sulit sembuh dengan berbagai permasalahannya. Belum lagi adanya kerjasama dengan orang asing dari negara tertentu juga menyebabkan keberadaan narkoba tersebut seakan-akan menjadi barang yang "biasa" saja.
Selanjutnya, kata Kasmanto, yang mendukung menjadi masifnya peredaran narkoba adalah adanya wilayah-wilayah yang secara geografi sebagai wilayah yang cendrung terisolasi yang menyebabkan dapat berkembangnya peredaran narkoba di wilayah tersebut.
"Meskipun perekonomian saat ini relatif sulit namun tidak membuat peredaran narkoba semakin berkurang," katanya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi atau faktor keterbatasan jumlah dan kemampuan kepolisian serta pihak terkait juga menjadi salah satu unsur penting mengapa pemasok narkoba tiada lelahnya meskipun tidak jarang banyak yang tertangkap. Dari konteks pelaku, terkadang variasi hukuman yang diberikan meskipun berat namun tidak menghentikan mereka untuk tidak berbuat kembali, tidak jarang mereka cenderung menjadi residivis setelahnya dan mengulangi kejahatan yang sama.
"Dari berbagai persoalan di atas, sangat diperlukan keseriusan yang tinggi dari aparat kepolisian serta pihak atau institusi terkait hingga ke berbagai pelosok wilayah dikarenakan dampak dari kejahatan narkoba yang sangat membahayakan terutama bagi generasi-generasi muda kita yang mungkin saja saat ini sudah banyak yang "berteman" dengan narkoba," katanya.
Selanjutnya, sambung Kasmanto, jangan pernah dilupakannya peran aktif dari masyarakat untuk menjadikan narkoba adalah kejahatan yang sangat berisiko tidak hanya dari aspek hukum. Namun juga dari aspek ekonomi dan kesehatan, sehingga tidak ada alasan bagi para orangtua dan keluarganya masing-masing maupun masyarakat untuk "melindungi" mereka.
"Karena sejatinya mereka yang menggunakan narkoba adalah sedang mengalami konsekuensi yang cukup berbahaya. Sejatinya melihat "seriusnya" peredaran narkoba sangat diperlukan kesinergian dari berbagai pihak yang tergolong dalam Criminal Justice System (CJS), mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan hingga sampai ke Lembaga Pemasyarakatan," katanya.
Pemasok narkoba yang tidak hanya dari dalam bahkan tidak jarang dari luar juga menjadikan pemberantasan narkoba tidak bisa bergerak sendiri.
"Dengan demikian diperlukannya kesinergian dalam memberantasnya. Keseriusan dan kesinergian sangat perlu baik pada tataran aparat penegak hukum maupun dengan masyarakat," tutup Kasmanto. (cha/asp)