Tapi pembangunan infrastruktur dipandang bukanlah obat tunggal untuk menyembuhkan separatisme. Ada hal lain pula yang harus disertakan dalam satu dosis.
"Kemajuan standar pembangunan di Papua tak diragukan sebagai hal yang baik, ini tak serta merta bisa memenangkan simpati terhadap Jakarta dan mengurangi dukungan kemerdekaan (Papua). Sebagaimana yang ditunjukkan Timor Timur, pembangunan tidak serta merta menimbulkan rasa terima kasih," demikian tulis Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) dalam laporannya, 'The Current Status of The Papuan Pro-Independence Movement' pada 2015.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka menilai separatis radikal di Papua muncul karena empat praktik. Pertama, praktik kebijakan yang tidak efektif. Tito Karnavian yang dulu pernah menjadi Kapolda Papua dan kini sudah menjadi Kapolri pernah menyatakan dalam peluncuran buku 'Bhayangkara di Bumi Cenderawasih', anggota polisi harus mampu beradaptasi dan memahami karakteristik masyarakat setempat, dengan demikian tindakan preventif bisa dilakukan sebelum potensi bahaya terjadi. Personel polisi yang ditempatkan di Papua harus polisi terbaik, bukan yang terburuk.
Hal kedua yang memunculkan separatis radikal adalah impunitas aparat. Aparat TNI dan polisi dinilai tak tersentuh oleh hukum meski melakukan pelanggaran terhadap hak masyarakat setempat. Ketiga, pemerintahan lokal yang terpecah-pecah akibat pemekaran justru menyuburkan kelompok berbahaya separatis itu.
"Menghentikan pemekaran akan secara simultan meningkatkan mutu pemerintahan, mengurangi risiko konflik, dan menghentikan arus uang tunai baru ke para pemimpin gerilya lokal (tentara OPM -red)," demikian tulis IPAC.
![]() |
Penghancuran institusi lokal juga dipandang bisa menimbulkan gerakan radikal di tengah masyarakat Papua. Maka Jokowi perlu untuk mengidentifikasi segala aspek yang memicu aksi radikal itu. Bila tak ada aksi radikalisme, maka aparat Indonesia tak akan perlu lagi menggunakan cara-cara kekerasan.
Mereka menyarankan agar pemerintah menerapkan empat cara dalam menangani OPM. Pertama, tetap menjalin komunikasi dengan OPM namun jangan bernegosiasi. Prinsipnya, mengembangkan hubungan personal bakal selalu bermanfaat. Kedua, berhati-hati menggunakan tuduhan 'makar' karena itu bisa menyulut aksi Tentara Pembebasan Nasional (TPN) OPM untuk angkat senjata.
Ketiga, hapuskan dana institusional untuk komandan-komandan TPN OPM dan kelompok apapun yang menyebut dirinya OPM. Mereka mengutip informasi, ada seorang bupati yang mengaku rutin memberi duit ke kelompok OPM antara Rp 5 juta hingga Rp 25 juta. Dia juga pernah memberi Rp 100 juta ke salah satu komandan OPM sebagai biaya bepergian ke pertemuan di Vanimo, Papua Nugini. Semua duit itu dia berikan karena, dia mengaku, ada ancaman sebelumnya.
Keempat, berikan amnesti untuk tahanan politik yang tak melakukan kejahatan kekerasan. Mereka memandang sikap pemerintah Indonesia terhadap tokoh OPM Nicolaas Jouwe sebagai contoh yang baik. Nicolaas kembali ke pangkuan NKRI setelah puluhan tahun menolak integrasi Papua ke Indonesia. Akhirnya dia pulang kampung dari Belanda ke Papua.
"Sebagai bukti bahwa pimpinan pro-kemerdekaan Papua tertinggi dapat diajak untuk berubah pikiran," tulisnya.
John RG Djopari lewat buku, 'Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka' juga menelisik penyebab aksi orang-orang berbendera Bintang Kejora itu. TNI disarankannya untuk memahami budaya setempat dan menghindarkan diri dari perilaku kurang terpuji. Soalnya, opini yang tak baik tentang TNI bisa semakin memperburuk keadaan.
"Pemerintah Indonesia pada tahun-tahun awal integrasi sudah diberi cap atau julukan 'penjajah baru' menggantikan Belanda. Malah sampai terlontar opini masyarakat bahwa 'Indonesia lebih jahat dari Belanda dalam mengurus masyarakat di Irian Jaya'. Ini semua merupakan ulah dari mereka yang kurang bertanggung jawab terhadap tujuan nasional Indonesia sehingga menimbulkan opini atau kesan negatif yang timbul dalam masyarakat tersebut," tulis John.
![]() |
Pada awal integrasi Papua ke NKRI pada era1960-an, pihak Indonesia disebutnya mengusir orang yang bermukim di rumah peninggalan Belanda, membakar buku cetak dokumen Belanda, mengintimidasi dan meneror orang-orang yang dituduh pro-Belanda dan kritis terhadap Indonesia. "Proses integrasi dengan Indonesia sudah sejak awal yaitu melalui perjuangan Trikora telah menelan banyak korban antara kedua belah pihak yait korban kedua saudara daerah Indonesia lainnya dan Irian Jaya yaitu suatu hal yang patut disesali dan dipikirkan lebih lanjut," tulis John.
Operasi-operasi militer berentetan silih berganti di Papua, menurut Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) ada 44 operasi militer dari 1961 hingga 1991. John menilai tindakan militer juga membuat banyak orang Papua mengungsi ke Papua Nugini, terutama di Jayapura dan Merauke.
Puncak kegiatan pengungsian terjadi selama 1984 dimulai bulan Februari, 300 penduduk Irian Jaya tiba di Vanimo, PNG. Hingga Desember 1984 jumlah pengungsi ke PNG sebanyak 11 ribu orang. Itu terdiri dari 7.640 orang dari Merauke dan 3.360 dari Jayapura. Banyak dari mereka berada di kamp pengungsi di Vanimo, dikenal sebagai Black Water dan Black Wara. UNHCR ikut memberi pelayanan kemanusiaan.
Namun buku itu ditulis John pada tahun 1993. Tentu saat ini, dua dekade setelah era reformasi, sudah ada perubahan di Papua. Orang-orang asli Papua juga telah menduduki jabatan kepala daerah, Papua juga menjadi daerah otonomi khusus, alokasi anggaran untuk Papua telah ditingkatkan. Pembangunan infrastruktur gencar dilakukan.
Sedangkan pihak TPNPB OPM sendiri, pihak yang menembak mati para pekerja proyek jalan Trans Papua, menolak adanya pembangunan infrastruktur. Hal ini dinyatakan oleh Juru Bicara TPNPB OPM Sebby Sambom lewat video yang diunggah di YouTube pada 10 Desember 2018.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menyatakan tak ada warga setempat yang menolak pembangunan jalan Trans Papua. Pembangunan perlu terus dilanjutkan untuk memenuhi keadilan sosial.
"Sepanjang jalan Trans Papua tidak ada yang menolak pembangunan Trans Papua. Ini yang dilakukan kelompok bersenjata," kata Basuki saat konferensi pers di kantornya, Jakarta Selatan, Selasa (4/12/2018) lalu.
Mundur ke bulan Mei 2018, Jokowi bahkan memerintahkan pembangunan puluhan rumah untuk orang-orang mantan OPM. Hal ini dikonfirmasi oleh Menteri PUPR Basuki. "Iya, diminta membangun rumah untuk eks OPM," kata Basuki saat ditemui wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (5/3/2018) lampau.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian menilai problem Kelompok Kriminal Sipil Bersenjata (KKB) di Papua berawal dari hal yang konkret. "Kita tahu bahwa akar masalah utama dari aksi kekerasan bersenjata oleh kelompok-kelompok ini terutama karena memang masalah pembangunan masalah kesejahteraan," kata Tito di Istana Negara, Jakarta Pusat, Rabu (5/12/2018).
Indonesia tetap bertekad menggulirkan pembangunan tanpa gentar dengan ancaman TPNPB OPM. Presiden Jokowi menyatakan pembangunan adalah perwujudan sila ke-5 Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dia percaya, infrastruktur bisa menyatukan Indonesia, seperti lagu 'Dari Sabang sampai Merauke'.
"Kenapa harus sambung-menyambung? Supaya negara besar ini yang wilayahnya 'dari Sabang sampai Merauke, berjajar pulau-pulau' bisa disatukan," kata Jokowi dalam akun Instagram-nya, Jumat (7/12/2018). (dnu/tor)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini