"Sebagai menteri yang berasal dari Papua, saya melihat Papua sangat tertinggal sekali dibandingkan daerah lain. Untuk masuk Papua dengan kebijakan yang kami bawa dari Jakarta ke sana, bingung mau masuk ke sana," kata Yohana di Hotel Alila Jakarta, Jl Pecenongan, Jakarta Pusat, Jumat (14/12/2018).
Yohana lalu membuat penelitian kondisi perempuan dan anak di Papua bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Liptek). Menurutnya, IPM dan IPG Papua bersama Maluku, NTT, Papua Barat masih rendah dan harus segera dibenahi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: 4 Tahun Jokowi-JK dan Realisasi Nawacita |
Yohana berharap hasil penelitian itu dapat dijadikan dasar para stakeholder menyusun kebijakan pemerintah.
"IPM dan IPG masih rendah kita kalau lihat kelihtannya Papua, Papua Barat, NTT dan Maluku masih rendah. Mengapa daerah Indonesia timur tempat itu terendah itu yang harus kita sama-sama jawab. Kita harus sama-sama bawa semua masuk ke daerah-daerah itu. Tapi jangan asal bangun, jangan datang kasih bangun dan pergi. Tapi harus lihat masyarakat yang ada khusus tanah Papua," ujarnya.
Sementara itu Ketua Tim Riset Liptek Papua, Marlina Flassy, mengatakan penelitian bertajuk 'Profil Perempuan dan anak di Provinsi Papua' dilakukan di 4 daerah yakni kota Jayapura, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Nabire, Kabupaten Asmat. Penelitian dilakukan dengan metode kuantitatif, kualitatif, dan indepth interview.
Ia menyebut ada 8 temuan dan 7 rekomendasi peneliti dari hasil riset tersebut. Rekomendasi pertama ia meminta agar pemerintah segera membuat Gugus Tugas Perempuan dan Anak di level provinsi, kabupaten, dan kota di Papua untuk mengatasi berbagai persoalan anak dan perempuan.
Kedua, ia meminta agar adanya pengaturan terkait peredaran minuman keras. Sebab peredaran miras belum diatur dan anak-anak dapat membelinya secara bebas di toko. Ketiga, perlu ada keberpihakan penganggaran program dan kegiatan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, sebab ia menilai anggaran lebih besar untuk Dinas PUPR terkait pembangunan infrastruktur.
"Peredaran minuman keras sangat bebas dan tidak terkontrol di Papua. Kalau di Papua anak juga bisa beli miras karena masuk ke toko. Jadi perlu ada aturan siapa yang bisa dilayani. Kalau tidak ada regulasi ini kalau bicara program muluk-muluk tapi kalau sistem jaringan ini nggak terputus nanti," ungkap Marlina.
Keempat ia menyebut perlunya ada rumah aman bagi perempuan dan anak berbasis kearifan lokal Papua. Kelima perlunya pembangunan rumah sehat bernuansa budaya Papua dan kearifan lokal.
Ia menyebut masih ada beberapa perempuan dan anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Namun seiring dengan perempuan yang bekerja tak jarang laki-laki juga mendapat kekerasan.
"Perempuaan banyak mendapatkan kekerasan fisik, psikis, ekonomi, dan seksual. Biasanya ditanya 'lapor nggak ke polisi?' (jawabnya) 'kalau lapor bapak cerai'. Kalau di salah satu daerah beda lagi kalau cerai bayar lagi," ujarnya.
Keenam pemerintah perlu intervensi pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan program lainnya dengan memahami budaya Papua dan zona ekologinya. Ketujuh perlunya anak memiliki hak mendapatkan akta kelahiran. Hal itu karena ada orang tuanya belum bisa menikah dengan alasan mahar adat, menurut Marlina, perlu pendekatan dan kerja sama adat agama dan pemerintah mengenai hal tersebut.
"Sehingga anak anak ini ada hak untuk mendaftar ke sekolah dan melanjutkan pendidikan mereka," ungkapnya. (yld/jbr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini