"Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976, yang telah berusia 42 tahun dan dapat dikatakan tertinggal jauh apabila dibandingkan dengan perkembangan teknologi penerbangan sipil dan perkembangan pembajakan udara setelah terjadinya Tragedi 11 September 2001," kata Adya.
Pendapatnya berhasil dipertahankan di depan para penguji di Kampus UNS, Kamis (13/12/2018). Duduk sebagai penguji Prof Furqon (ketua), Prof Furqon Hidayatullah (sekretaris), Prof Supanto (promotor), Dr Agus Purnomo (co promotor). Adapun anggota penguji yaitu Prof Hartiwiningsih, Prof Adi Sulistiyono, Dr Emmy Latifah, Dr Hari Purwadi dan Prof Martono.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
UU itu sekurang-kurangnya berisi materi muatan yang fleksibel dan berdimensi internasional. Antara lain mengenai ruang lingkup pembajakan udara, kedaulatan dan yurisdiksi negara, kelembagaan yang diberi otoritas mencegah dan menanggulangi pembajakan udara, peran serta masyarakat, kerjasama internasional dalam pencegahan dan penanggulangan pembajakan udara dalam bentuk ekstradisi maupun kerjasama bilateral/multilateral dan sanksi terhadap pelaku pembajakan udara.
"Penambahan aturan mengenai penggunaan pesawat udara sebagai Mass Destruction Weapon (senjata pemusnah massal) atau senjata pamungkas, karena pesawat udara dapat membawa bom atau senjata BCN sehingga akan melibatkan berbagai instansi dari berbagai bidang yang terkait dengan permasalahan tersebut, antara lain dari instansi perhubungan, instansi kesehatan, instansi pertahanan dan instansi yang mengurus nuklir di Indonesia," papar Adya.
"Membentuk suatu satuan khusus petugas pengamanan penerbangan (Air Marshall) yang anggotanya akan ditempatkan dan ikut serta dalam setiap penerbangan yang ada di Indonesia," pungkasnya.
Saksikan juga video 'Dear Operator Pesawat, Jangan Siasati Aturan Penerbangan':
(asp/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini