"Kita mengenal rekam jejak pendiri NU (Nahdlatul Ulama) KH Hasyim Asy'ari itu pertama kali Pak Asad. Dia menulisnya di Mekkah dan menerbitkannya di Lebanon," kata Nabiel A. Karim Hayaze, peneliti Menara Center - Lembaga Riset Keturunan Arab, dalam bedah buku "Sang Penyebar Berita Proklamasi RI" yang dipandu Suraya Afiff, PhD di Pusat Kajian Antropologi UI, Rabu (28/11/2018).
Sebelum mendirikan PAB, Asad Shahab telah aktif di dunia jurnalistik sejak 1936. Hal itu membuatnya punya banyak jaringan hingga luar negeri, khususnya Timur Tengah. Pada 1938-1942, dia tercatat sebagai kontributor media berbahasa Arab, al-Mughatttan, di Mesir.
Sebagai wartawan dia sempat berkunjung ke Pesantren Tebu Ireng, menemui Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy'ari untuk mewawancarainya. "Jadi, Pak Asad itu menulis biografi ketika KH Hasyim Asy'ari masih hidup. Dia juga menulis sejarah tentang Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, dan tokoh-tokoh lainnya," kata Nabiel.
Dokumentasi karya Asad, dia melanjutkan, sebagian masih tersimpan dengan baik dan dirawat oleh putra keduanya, Abdul Mutolib Shahab. "Khusus untuk biografis KH Hasyim Asya'ari saya yang menerjemahkan ke Bahasa Indonesia dan sudah selesai mencetaknya," ujar master dari University of Washington, AS ini.
Terkait kiprah Asad Shahab dengan APB, Nabiel merujuk keterangan Sejarawan cum antropolog Belanda dari Universitas Nijmegen, Huub de Jonge saat berkunjung ke Indonesia, Mei lalu. Produk media APB, kata dia, cukup beragam. Mulai dari buletin harian, suratkabar, dan majalah berkala. Selain koreponden di berbagai negara, pendistribusian APB terbantu oleh Kementerian Luar Negeri yang mengirimkan buletin harian ke seluruh perwakilan RI di luar negeri. Dari berita APB, negara-negara Timur Tengah mengetahui keadaan yang terjadi di Indonesia.
"Berdasarkan sumber militer Belanda, baik arsip NICA ataupun arsip intelijen (PID) yang diteliti Jonge, menyebutkan bahwa tulisan-tulisan di koran Belanda mengambil rujukan berita dari APB," ujarnya.
Nabiel memaparkan hal itu dalam rangka menanggapi presentasi Asvi Warman Adam dari LIPI dan Rushdy Hosein dari Yayasan Bung Karno. Keduanya meminta agar Asad Shahab layak diperjuangkan sebagai Pahlawan Nasional, perlu dilengkapi dengan dokumentasi otentik terkait kiprah yang bersangkutan.
Cendekiawan muslim yang juga pakar ilmu komunikasi Jalaludin Rakhmat pernah memberikan kesaksian terkait kiprah Asad Shahab di era 1980-an. Dari buku-buku yang ditulisnya, kata Jalal, dapat disimpulkan bahwa Asad adalah seorang juru catat sejarah perjuangan Indonesia. Dia misalnya menulis soal sejarah masuknya Islam di Indonesia. Asad juga menulis soal perkembangan komunisme di Indonesia termasuk meletusnya Gerakan 30 September 1965.
"Jadi kalau ada ahli sejarah Timur Tengah akan menulis soal Indonesia, mereka pasti akan menghubungi Sayid Asad Shahab sebagai konsultannya. Atau paling tidak menjadikan buku-buku karya beliau sebagai referensi utamanya," kata Jalal kepada detik.com beberapa waktu lalu.
Mungkin karena lebih banyak menulis dalam Bahasa Arab dan menerbitkannya di Timur Tengah, jejak intelektual Asad Shabab kurang dikenal di tanah airnya sendiri. Padahal di luar negeri, "Beliau itu sohor pisan (terkenal sekali) dan disegani karena intelektualismenya. Setiap kali usai bicara di forum internasional selalu mendapatkan standing ovation," Jalal mengenang. Ia mengaku sedikitnya pernah dua kali mendampingi Asad mengikuti konferensi internasional tentang dunia Islam di Malaysia dan Teheran, Iran pada pertengahan 1990-an.
Atas semua kiprahnya itu, Dawam menilai sosok Asad Shahab selayaknya diingat dan dihargai sebagai salah seorang bapak pendiri bangsa. "Ia sudah membentuk APB (Arabia Press Board) sebagai the fourth government pada 2 September 1945," tulis Dawam.
Tentang hal ini, Jalaludin Rakhmat sependapat dengan Dawam. Bila kita objektif ingin menghargai rekam jejaknya, "Saya pikir beliau pantas mendapat anugerah Pahlawan Nasional."
(jat/jat)