"Pertama, bukti Toa dan ampli yang diajukan oleh jaksa malah menjelaskan itu perkara terkait dengan volume, bukan penodaan agama," kata pengacara Meliana, Ranto Sibarani, saat dihubungi detikcom, Kamis (22/11/2018).
Baca juga: 'Jeritan' Meliana dari Balik Penjara |
Kedua, hakim mempertimbangkan keterangan saksi-saksi yang tidak bisa dibuktikan, tapi mengesampingkan keterangan Meliana. Ketiga, pidana yang dituduhkan dilakukan pada 29 Juli 2018, sementara barang bukti berupa surat pernyataan baru dibuat 2 Desember 2016.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kelima, majelis hakim dalam pertimbangannya menyebutkan Fatwa MUI tersebut. Namun dalam hierarki perundang-undangan Indonesia, fatwa bukan sebagai dasar penegakan hukum, apalagi hukum pidana.
"Keenam, tidak adanya kepastian hukum terkait dengan penerapan Pasal 156 a huruf a KUHP. Di mana orang yang merusak dan membakar rumah ibadah dikenai pasal perusakan dan dihukum tidak lebih dari 3 bulan, sementara perkataan Meliana, yang dituduh mengucapkan penodaan dan hanya bisa dibuktikan melalui surat pernyataan orang lain, malah dikenai pasal penodaan agama dan dihukum 18 bulan," cetus Ranto.
Memori kasasi itu telah diterima MA pada Rabu (21/11) kemarin.
Sebagaimana diketahui, Meliana mengkritik volume azan karena terlalu keras pada Juni 2016. Rumah Meliana dirusak oleh massa dan vihara dibakar.
Belakangan, jaksa menuntut Meliana 18 bulan penjara dan disetujui oleh PN Medan pada 21 Agustus 2018. Atas hal itu, Meliana mengajukan permohonan banding, tapi ditolak.
"Saya, Meliana, percaya kepada tim penasihat hukum. Saya sudah melakukan yang terbaik dan saya setuju untuk melakukan upaya hukum kasasi. Saya mohon kepada hakim Ketua Mahkamah Agung supaya memberikan putusan atas tuduhan yang tidak pernah saya lakukan," kata Meliana dalam secarik kertas dari balik penjara.
Saksikan juga video 'Meiliana Divonis 18 Bulan, DPR: Islam Harus Arif dan Bijaksana':
(asp/rvk)
![]() |
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini