"Putusan MA ini maupun putusan PTUN sesungguhnya bisa berbahaya untuk sistem ketatanegaraan Indonesia. Tapi bahwa akan jadi berbahaya ke depan kalau KPU ikuti keputusan yang keliru memaknai putusan MK, dalam arti, 'kok MA membelakangai putusan MK'," kata Bivitri dalam diskusi di Warung Upnormal, Jalam KH Wahid Hasyim, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (18/11/2018).
Bivitri khawatir, KPU akan menjalankan putusan MA dan PTUN, padahal Mahkamah Konstitusi (MK) sudah lebih dulu menyatakan pengurus partai tak boleh menjadi calon anggota DPD. Dia mengimbau, jangan sampai karena ambisi seseorang, sistem ketatanegataan malah dikorbankan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bivitri juga menyinggu Ketum Hanura, Oesman Sapta Odang (OSO), yang menggugat syarat calon anggota DPD ke MA dan PTUN. Dia melihat, OSO tidak memiliki niat untuk taat terhadap aturan yang berlaku.
"Kalau buat saya ini jelas, dia unwillingness (enggan), bukan unable (tidak bisa). Kenapa? Karena 200 orang lebih bisa mundur, dan menyatakan memenuhi syarat tambahan, bukan dari pengurus parpol. Itu bisa," tegas Bivitri.
Sebelumnya, OSO mengajukan gugatan uji materi ke MA terkait PKPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu DPD RI. MA memutuskan, Pemilu 2019 bisa diikuti calon anggota DPD yang juga pengurus partai.
Selain memenangkan gugatan di MA, OSO juga mengajukan upaya hukum lain dengan mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta. Dalam putusannya, PTUN Jakarta memerintahkan KPU memasukkan nama OSO sebagai calon DPD pada Pileg 2019.
"Memerintahkan tergugat untuk menerbitkan keputusan Tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019 yang baru yang mencantumkan nama Penggugat sebagai Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019," ujar ketua majelis Edi Sapta Surheza di PTUN Jakarta, Cakung, Jakarta Timur, Rabu (14/11/2018). (zak/tor)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini