Hingga beberapa hari kemudian, setelah malam sebelumnya meninjau Depo Pertamina di Plumpang, Jakarta Utara, dan sempat menyantap sate di Cilincing, pagi harinya Bung Karno muntah-muntah. "Mangil...." Bung Karno memanggil pengawal pribadinya, Mangil Martowidjojo. "Celukno Njoto, Panggilkan Njoto."
Mangil yang dapat perintah kebingungan. Bung Karno muntah-muntah, sementara dia tahu, Njoto bukan seorang dokter. "Dawuh menopo, Pak?" Mangil bertanya kepada Presiden. Sembari bersandar di kasur dan membaca koran, Bung Karno menyahut, "Iki wis sasi Agustus, Bapak kudu pidato. Yen ora pidato, bubar Indonesia." (Ini sudah bulan Agustus, Bapak harus berpidato. Kalo tidak berpidato, bisa bubar Indonesia).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lahir dari keluarga bangsawan Jawa di Jember, Jawa Timur, dengan nama Koesoemo Digdojo, entah karena alasan apa, dia memilih nama yang sangat ringkas dan sederhana: Njoto. Sejak muda, Njoto sudah kenal dengan komunisme. Setelah PKI sempat babak belur gara-gara peristiwa Madiun 1948, D.N. Aidit, M.H.Lukman dan Njoto, membangkitkan dan berhasil membesarkan partai komunis itu.
"Bung Karno merasa pemikirannya cocok dengan Njoto," ujar almarhum Joesoef Isak, sahabat Njoto, dikutip buku, Njoto: Peniup Saksofon di Tengah Prahara. Menurut Joesoef, Bung Karno menyukai Njoto yang jauh lebih muda karena dia satu-satunya pimpinan Partai Komunis yang 'liberal', pragmatis, dan tak dogmatis. Apalagi Njoto juga pintar memainkan alat musik dan tak canggung dalam pesta. "Kehebatan Njoto terletak dalam cara mengemas gaya bahasa Bung Karno, menempatkannya dalam pikiran politiknya."
Bagaimana kisah para penulis pidato Bung Karno yang selalu bergelora itu, baca selengkapnya di DetikX, Di Balik Pidato Bung Karno (pal/sap)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini