Sumpah Pemuda yang kini berumur 90 tahun disusun oleh para pemuda dan sukses besar membuat bangsa Indonesia bersatu. Padahal waktu itu, 28 Oktober 1928, fasilitas sampai teknologi masih amat terbatas dibanding saat ini.
"Kalau menurut saya, kaum muda saat itu jauh lebih maju secara intelektual. Mereka yang pelajar-pelajar setingkat SMA sampai awal-awal kuliah bahkan sudah berpikir bagaimana menuju kemerdekaan," kata sejarawan UI Rushdy Hoesein dalam perbincangan dengan detikcom, Minggu (28/10/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian Mohammad Yamin yang menjadi sekretaris lahir pada 1903 atau berusia sekitar 25 tahun. Yamin yang berasal dari Sawahlunto waktu itu berkuliah di Batavia (sekarang Jakarta), sehingga dia harus ngekos.
"Anak-anak muda mesti memahami betul, jangan sampai mereka berpikir ini Sumpah Pemuda dibikin orang-orang tua, orang hebat, padahal mereka biasa aja, anak sekolahan dulu, iya kan? Anak sekolahan semuanya anggota Pramuka, dulu disebutnya anggota pandu," ujar sejarawan yang juga Ketua Komunitas Historia Asep Kambali saat berbincang dengan detikcom, Jumat malam (26/10).
![]() |
'Anak-anak kosan' itu berasal dari beragam suku bangsa dan organisasi yang masih menonjolkan kedaerahan. Yamin sediri berasal dari Jong Sumatranen Bond. Ada pula RM Djoko Marsaid yang merupakan Wakil Ketua Kongres Pemuda II berasal dari Jong Java.
Kongres Pemuda II berlangsung selama 27-28 Oktober 1928. Di hari pertama, rapat baru dimulai malam hari di Gedung Khatolieke Jongenlingen Bond yang terletak di Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng). Gedung itu kini menjadi kompleks sekolah Santa Ursula.
Baca juga: Aksi Pemuda Memaknai 28 Oktober di CFD |
Anak-anak kos itu melanjutkan agenda keesokan paginya, 28 Oktober 1928, di Oost Java Bioscoop. Gedung bioskop itu dulunya di jalan yang sekarang menjadi Jl Medan Merdeka Utara.
Pada malam harinya, agenda berpindah lagi ke kos-kosan milik orang Tionghoa. Dalam buku 'Sejarah Pergerakan Nasional' yang ditulis Fajriudin Muttaqin dkk, orang Tionghoa itu bernama Sie Kok Liong. Namun ada pula yang menulisnya Sie Kong Liong atau bahkan Sie Hong Liong.
Acara di malam hari itulah saat di mana Sumpah Pemuda diikrarkan dan lagu Indonesia Raya diperdengarkan secara instrumental oleh WR Supratman dengan biola. Ratusan pemuda berkumpul di kos-kosan tersebut.
"Jadi mereka ini secara fisik, secara organisasi, mereka ini disiplin. Mereka punya kekuatan mental tangguh, anak belasan tahun umurnya, masih pelajar, anggota Pandu dan mayoritas dari mereka anak kosan, mereka yang lebih gila lagi deklarasikan di kos-kosannya, kan itu kos-kosan. Nah, anak muda belasan tahun sekarang ngapain?" ungkap Asep.
Kos-kosan zaman sekarang masih identik dihuni oleh kaum pelajar. Organisasi kepemudaan 'zaman now' pun sebetulnya banyak yang menyelenggarakan acara.
"Kalau nggak belajar sejarah sulit membayangkan kalau Sumpah Pemuda itu dibikinnya di kos-kosan. Nah anak kosan sekarang ngapain? Bayangin anak muda yang hobinya main game, anak-anak yang sehari-harinya ngisi bukan dengan ilmu pengetahuan akhirnya mereka nggak punya modal, ketika jadi pejabat cuma tidur," ungkap Asep.
![]() |
Sementara itu Rushdy Hoesein meski berpendapat sama, namun melihat bentuk prestasi lain dari pemuda masa kini. Setidaknya prestasi di bidang olahraga saat Asian Games 2018 lalu jadi bukti kalau pemuda masa kini pun masih ada yang mampu berkarya demi bangsa dan mengesampingkan latar belakang.
Rushdy hanya menyayangkan transformasi organisasi kepemudaan yang cenderung cuma jadi underbow partai politik. Arah kegiatannya pun cuma mengekor partai politik induknya.
"Beda dengan dulu ada Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Jong Ambon, dan lainnya tapi akhirnya mau melebur jadi Indonesia Moeda," kata Rushdy.
Simak Juga 'Sumpah Pemuda di Mata Generasi Milenial':
(bpn/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini