Rombongan delegasi guru-guru, itu dipimpin Kepala Unit Pelaksana Tugas (UPT) Pendidikan Sangatta Utara, Suyatno. Berbagai pertanyaan disampaikan oleh para guru, kepada mantan Bupati Kutai Timur itu. Mulai dari efek negatif pelaksanaan demokrasi yang mahal dan mengakibatkan maraknya praktek korupsi. Hingga peluang berlakunya kembali GBHN dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Menjawab berbagai pertanyaan, itu Mahyudin antara lain mengatakan, sistem pemilihan langsung yang berlaku saat ini tidak sesuai dengan sila ke empat Pancasila.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: MPR: Demokrasi di Indonesia Berbiaya Mahal |
Karena itu, Mahyudin mengaku setuju dengan usul para guru, jika satu saat nanti Indonesia, harus kembali pada demokrasi perwakilan, khususnya pada pelaksanaan pemilihan kepala daerah.
"Kalau pendapatan masyarakat Indonesia sudah meningkat dan tidak mudah disusupi politik uang. Kalau rata-rata pendidikan masyarakat sudah semakin baik dibanding saat sekarang, mungkin pada saat itu kita bisa praktekkan pemilu langsung," kata dia.
"Tetapi, kalau pemilu langsung dilakukan saat ini, kita tunggu saja waktunya, akan makin banyak pejabat negara yang terkena kasus tindak pidana korupsi," kata Mahyudin menambahkan.
Peluang pejabat melakukan tindak pidana korupsi, kata Mahyudin, akan semakin kecil bila dana kampanye ditanggung oleh negara. Kenyataannya, para pejabat yang melakukan korupsi, dipengaruhi oleh biaya kampanye yang sangat besar. Karena itu mereka berusaha mengembalikan dana yang digunakan selama kampanye, melalui cara yang tidak benar. Yaitu melakukan korupsi.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini