Aziz mengatakan kurang tepat andai pemerintah mengeluarkan perppu agar UU Nomor 17/2017 tentang Pemilu bisa direvisi dan memuat ketentuan perihal dana saksi. UU Pemilu hanya mengatur tentang pelatihan saksi oleh Bawaslu.
"Perppu tidak bisa berdiri awang-awang. Perppu kan turunan dari UU. Makanya kalau UU di dalam UU Pemilu kemarin nggak ada, harus dicarikan UU yang bisa nyantol, salah satu alternatif UU RAPBN," ujar Aziz di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (22/10/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski demikian, Aziz menegaskan wacana penganggaran dana saksi dengan mencantolkan ke UU RAPBN masih sebatas wacana. Aziz menyebut sejumlah hal masih dipertimbangkan.
"Apakah di UU RAPBN kalau kita cantolin itu tidak melanggar azas hukum, normatif hukum yang berkaitan dengan UU yang lainnya," sebut Aziz.
"Kalau tidak melanggar aturan filosofi UU, maka akan dimasukkan. Tapi ini masih dilihat filosofi hukumnya, normatif hukumnya. Kalau itu disepakati akan dimasukkan di dalam Bawaslu. Partai-partai hanya memasukkan nama saksi kemudian pelatihan dan penyebaran pendistribusiannya dana saksi itu melalui Bawaslu. Partai politik tidak mengelola," jelasnya.
Baca juga: Bawaslu Ogah Kelola Dana Saksi Rp 3,9 T |
Lalu, apakah pemerintah bersedia menganggarkan dana saksi jika sudah ada payung hukumnya? Aziz tak mau berandai-andai.
"Kalau tidak ada payung hukum, mana ada yang berani? Sekarang tidak bisa bicara kalau, harus dicari dulu payung hukumnya. Payung hukumnya ada, baru dibahas," sebut Aziz. (gbr/imk)