"Celakanya, dalam konteks politik, generasi ini rada cuek dengan politik. Survei terbaru, hanya 22 persen anak-anak milenial yang mengikuti pemberitaan politik. Sisanya, mereka lebih banyak mengikuti seputar olahraga, musik, film, lifestyle, socmed, kemudian IT (teknologi informasi)," ujar Ali dalam diskusi di Warung Daun, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (20/10/2018).
"Jadi, kalau kami lihat, ada juga milenial yang sangat concern pada politik, tidak banyak. Secara jumlah tidak banyak, makanya Twitter kami itu sangat berisik dengan berisi politik, karena itu memang diisi dengan milenial senior," sambungnya.
Ali juga menyebut kaum milenial menilai urusan perpolitikan adalah urusan orang tua. Dia mengatakan kaum milenial lebih peduli dengan informasi seputar kehidupan kesehariannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, Ketua KPAI Susanto menilai semua pihak, mulai elite politik hingga tempat pendidikan, diminta memberikan edukasi mengenai proses politik. Edukasi ini bertujuan agar kaum milenial tidak menjadi alat politik dari orang tuanya.
"Pertama, kami lihat pendidikan politik ke kaum pemula masih terbatas. Kedua, yang bersangkutan memang secara umum baru keluar dari pendidikan SLTA. Concern sebenarnya lebih pada pendidikan akademik daripada politik. Pendidikan politik ini semata-mata agar pemilih pemula tidak bias politik dan bebas dari indoktrinasi yang dibangun oleh guru," jelasnya.
Susanto menilai peran guru juga sangat penting di sekolah agar para pemilih pemula mengetahui manfaat demokrasi dan pemilu. Namun, dia mengingatkan, edukasi proses pemilu jangan disamakan dengan kampanye.
"Jadi guru itu tugasnya bukan mendoktrinkan paslon tertentu, tapi guru menjelaskan proses politik. Karena anak-anak pemula harus tahu proses politik. Jadi harus dibedakan antara kampanye dengan sosilisasi pemilu. Sosialisasi harus dilakukan, tapi bukan kampanye," tambahnya.
Saksikan juga video 'Ma'ruf Amin: Kita Unggul di Milenial dan Emak-emak':
(zap/aan)