Analisa Polmark dilakukan terhadap hasil survei PolMark pada beberapa survei nasional dan survei pilkada. Analisa hanya berfokus pada organisasi dan jaringan masyarakat yang paling berpengaruh di kalangan pemilih.
"Jaringan sosial apa yang paling penting, sumber datanya adalah, ada 5 survei nasional, ada 42 survei provinsi, ada 42 survei kabupaten, 17 survei kota. Kalau jumlah responden seluruhnya dihitung ini 96.930 responden," kata CEO PolMark Indonesia Eep Saefulloh dalam diskusi publik dengan tema 'Dari Pilkada 2015-2018 dan Peta Baru Pilpres 2019', di Hotel Veranda-Pakubuwono, Jl Kyai Maja No 63, Jakarta Selatan, Kamis (18/10/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Survei nasional menunjukkan bahwa majelis taklim atau institusi pengajian merupakan grassroot atau suara akar rumput yang sangat penting. Dari 5 survei nasional, jangkauan majelis taklim terhadap pemilih mencapai 34,5 persen.
"Lalu NU 29,2 persen, lalu kemudian Muhammadiyah 6,6 persen. Untuk survei provinsi ada 43 survei dan ketika dirata-rata majelis taklim kembali menjadi jaringan sosial penting 31,8 persen, lalu kemudian NU 23,4, dan Muhammadiyah 6,2 persen," ujarnya.
Meski jangkauan majelis taklim melebihi NU dan Muhammadiyah, namun secara akademik, majelis taklim tidak satu kategori dengan NU dan Muhammadiyah. NU dan Muhammadiyah adalah organisasi, sedangkan majelis taklim adalah jaringan.
"Karena itu sebetulnya keikutsertaan dalam jaringan ini tumpang tindih, orang NU tidak mungkin orang Muhammadiyah, tetapi orang NU boleh jadi peserta majelis taklim begitu juga orang Muhammadiyah (bisa jadi peserta majelis taklim)," tuturnya.
Eep melanjutkan, pada provinsi di mana pemilih Muslim di atas 80%, jangakauan Majelis taklim mencapai 35,2%. Ketika pemilih muslimnya lebih sedikit 67% sampai 80%, maka jangkauan majelis taklim 17,7%. Demikian halnya ketika pemilih muslimnya di bawah 67%, maka jangkauan majelis taklim 20,1%.
"Di tempat-tempat mayoritas Muslim majelis taklim adalah jaringan yang menjangkau lebih dari sepertiga pemilih. Tapi di tempat-tempat yang pemilih Muslimnya tidak semutlak itu, majelis taklim mencapai 25% daya jangkaunya," jelasnya.
"Tetapi di dalam semua kategori majelis taklim selalu lebih besar daya jangkau politiknya, elektoralnya dibandingkan dengan NU apalagi Muhammadiyah. Nah karena itu lah di berbagai Pilkada majelis taklim tidak bisa dipandang remeh," imbuhnya.
Eep mengingatkan, dalam gelaran pilkada banyak penggalangan suara majelis taklim yang dilakukan dengan keliru. Banyak calon berusaha mengambil suara majelis taklim dengan menggaet pengurus atau pimpinan majelis taklim.
"Ternyata penggalangan majelis taklim yang efektif bukan menggalang pengurus majelis taklim, tetapi menggalang jemaahnya karena tingkat kemandirian pemilih di Indonesia relatif tinggi," ucapnya. (nvl/bag)