Menakutkannya Tsunami Palu di Mata Salma

Menakutkannya Tsunami Palu di Mata Salma

Ferdi - detikNews
Rabu, 10 Okt 2018 15:15 WIB
Menakutkannya Tsunami Palu di Mata Salma
Ilustrasi (dok.detikcom)
Jambi - Salma ini hanya bisa menangis kala mengingat bencana alam yang melanda Sulawesi Tengah. Ia adalah salah satu korban yang berhasil selamat dari guncangan gempa 7,4 skala richter serta tsunami pada Jumat 28 September 2018 itu.

Wanita kelahiran 31 Desember 1979, merupakan warga asli Mendahara Ulu, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Sejak tahun 2013 silam, Salma hidup bersama Aspin yaitu suaminya di Kota Palu Sulawesi Tengah untuk menyambung hidup di sana.

5 Tahun menetap di Kota Palu dengan memiliki dua orang anak, yaitu Rizki dan Riska, kini Salma terpaksa meninggalkan Kota Palu itu akibat rasa trauma yang mendalam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya sebenarnya sudah tidak mau lagi mengingat itu. Bencana itu sangat menakutkan sekali bagi saya. Saya merasa sangat trauma sekali. Ini yang pertama kali saya rasakan bencana se-dasyat itu terjadi," kata Salma ketika menceritakan kembali apa yang dialaminya saat itu kepada detikcom, di rumah sakit Abdul Manap, di Jalan Ir H. Juanda Kecamatan Kotabaru, Kota Jambi, Rabu (10/10/2018).

Bersama suami dan kedua anaknya, Salma tinggal di Jalan Tanjung Satu, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu Sulawesi Tengah. Disana Salma dan suaminya berjualan makanan ringan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.. Jarak lokasi tempat jualannya itu tidak tentu karena suami Salma hanya berjualan keliling di Kota Palu.

Lokasi rumah Salma juga tidak jauh dari bibir pantai Talise yang berada di Kota Palu itu. Keindahan alam yang mempesona di Kota Palu juga membuat Salma merasa betah untuk hidup disana. Selain telah memiliki usaha di situ, Salma juga merasa nyaman dengan keadaan masyarakat di sekitarnya.

Namun siapa sangka, rasa nyaman itu kini menjadi rasa duka yang mendalam baginya, setelah Jumat petang sekitar pukul 17.30 WIB, guncangan gempa besar melanda Kota Palu dan sekitarnya di Sulawesi Tengah.

"Waktu itu saya berada di lokasi jualan saya, saya saat itu sudah selesai berjualan dan akan pulang kerumah. Tetapi ketika akan pulang. Bumi ini bergoyang hebat, saya takut, menangis ketika bumi ini bergoyang. Saya lihat sebagian rumah pada hancur waktu itu, tanah sebagian ada yang ikut ambruk. Saya mencoba mencari perlindungan diri, tetapi saat itu pula yang saya pikiran waktu itu adalah kedua anak saya yang masih sangat kecil sekali dan suami saya yang berada di rumah," ungkap Salma sambil menitikan air matanya.

Ia berteriak minta tolong sekuat tenaga, berharap teriaknya itu ada yang mendengar dan membantu. Namun semua itu sia-sia, semua warga pada berlari seperti acuh tak acuh untuk dapat menyelamatkan diri masing-masing dari bencana gempa tersebut.

Perasaan ibu dua anak itu makin tidak karuan. Fikiran buruk selalu ia bayangkan bahwa gempa yang terjadi itu bakal memisahkan dirinya bersama keluarga tercintanya tersebut. Selang 10 menit setelah gempa, ia kembali mendengar suara teriakan bahwa ada gulungan air laut yang besar menghancurkan daratan. Tsunami..tsunami..tsunami.. teriakan itu yang acap kali ia dengar.

"Saya merasa semakin hancur mendengar kata-kata tsunami itu. Tak dapat saya bayangkan bencana yang dulu hanya saya dengar tiba-tiba terjadi. Saya semakin berteriak. Anakku..anakku.. suamiku.. tolong-tolong anak dan suami saya. Karena pada saat itu kami sempat terpisah. Saya merasa sudah tidak karuan waktu itu. Namun tak berapa lama setelah bencana gempa dan tsunami itu selesai, kami pun bertemu kembali. Ini adalah suatu anugrah bagi saya. Saya sudah sangat lega sekali kala itu bisa bertemu mereka," ucapnya sambil bersyukur.

Dua belas hari lamanya Salma dan keluarganya itu harus berada di tenda pengungsian seadanya. Tiap hari, makanan mie instan dan minuman air mineral membuat Salma semakin merasa sedih berkepanjangan.

Apalagi, kedua anaknya yang kala itu berusia 5 dan 4 tahun itu. setiap malam selalu saja bergantian menangis dengan kondisi tubuh yang semakin lemas.

Usaha untuk selalu mengontak keluarganya di Jambi sudah sering dilakukannya. Butuh waktu 5 hari, Salma baru dapat memberikan kabar kepada keluarganya di Jambi, bahwa ia, suami dan kedua anaknya selamat dari bencana alam tersebut. Ketakutan berkepanjangan membuat Salma selalu berusaha untuk bisa pulang ke kampung halamanya.

Berbagai cara ia coba lakukan, mulai mengadu ke pihak TNI ataupun relawan disana agar dapat dipulangkan ke Jambi. Tetap saja, usahanya itu sangat sulit dapat dikabulkan, karena pada saat itu, kepulangan pesawat domestik ke Jambi tidak ada.

Apalagi, semua pihak baik TNI/Polri atau pihak pemerintah setempat disana, kala itu pada sibuk berupaya mengevakuasi korban jiwa yang meninggal dunia dan urusan lainnya.

"Saya sangat memahami itu. Semua memang saat itu pada sibuk, mulai dari mengevakuasi sampai membantu para korban yang selamat dari bencana. Saya juga merasa bukan hanya saya saja yang waktu itu ingin pulang, banyak warga lainnya yang merasa ketakutan dan trauma juga ingin pulang kekampung halamanya,'' terang Salma.

Hampir dua minggu menanti untuk bisa pulang ke Jambi, akhirnya keinginan Salma itu tercapai, setelah salah satu pihak TNI yang juga merupakan warga Jambi memberikan sebuah informasi di dunia maya hingga akhirnya sampailah ke pihak Pemerintah Kota Jambi untuk dapat membantu kepulangannya Salma, suami dan kedua anaknya itu.

"Sekarang syukur alhamdulilah saya bisa dapat pulang ke kampung halaman saya. Saya dibantu mulai dari biaya penerbangan pesawat, uang saku serta biaya perobatan kesehatan setelah tiba di Kota Jambi. Saya bersyukur sekali atas bantuan ini. Terimakasih..terimakasih," tukas Salma. (asp/asp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads