"Kita kan ada aturan main. Jadi kalau ada pihak lain merasa dirugikan silakan saja ikut mekanisme yang belaku. Ada upaya hukum dan saya rasa ya hanya banding," kata Humas PN Palembang, Saiman saat berbincang dengan detikcom di kantornya, Kamis (4/10/2018).
Saat disinggung terkait hukuman Rp 606 miliar yang diputuskan di kasus perdata itu, Saiman tidak mau memberi jawaban. Dia menyebut jika isi putusan adalah hak dan kewenangan penuh hakim.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 92/2015, ganti rugi salah tangkap maksimal Rp 600 juta. Itu pun apabila yang jadi korban salah tangkap meninggal dunia. Tapi oleh Wishnu Wicaksono, Paluko Hutagalung dan Kartijono, Kemenkeu dihukum Rp 606 miliar.
"Hal itu tentu berdasarkan pertimbangan pihak majelis. Selama persidangan pasti ada pertimbangan-pertimbangan hakim," katanya lagi.
Seandainya ada pihak dari tergugat yang melapor ke Komisi Yudisial, Saiman pun tidak masalah. Dia berkeyakinan putusan hakim murni berdasarkan aturan berlaku.
"Kalau soal itu saya tidak tahu ya (soal dilaporkan ke KY). Karena setahu saya mekanisme kalau merasa dirugikan ya hanya itu tadi, banding," katanya.
Lalu bagaimana dengan kasus serupa? Berikut hukuman ke aparat yang salah tangkap:
1. Kasus Sri Mulyati. Ia ditahan atas tuduhan perdagangan anak. Setelah menghuni penjara 13 bulan penjara, tuduhan itu tidak terbukti. Pengadilan hanya menghukum negara Rp 5 juta.
2. Kasus Andro Supriyanto dan Nurdin Priyanto. Keduanya sempat dipenjara atas tuduhan pembunuhan. Belakangan tuduhan itu hanya bualan belaka. Pengadilan menghukum aparat Rp 72 juta.
3. Kasus hakim Syarifuddin. KPK melakukan OTT ke hakim PN Jakpus, Syarifuddin. Dalam OTT itu, KPK salah sita, yaitu beberapa barang tidak terkait kasus korupsi tetapi disita. Alhasil, KPK dihukum ganti rugi Rp 100 juta.
Tonton juga '10 Tahun Penjara Buat Korban Salah Tangkap':
(ras/asp)