"Harapan kita, semua timses dan pendukung jangan sampai gelap mata menjadikan hoax sebagai cara menarik simpati karena ini cara keji," ujar anggota Bawaslu Mochammad Afifudin kepada detikcom, Kamis (4/10/2018).
"Kasus ini pembelajaran bagi kita semua agar sama-sama melakukan kampanye dengan cara beradab," kata Afif.
Afif mengatakan kampanye sebaiknya digunakan dengan memperlihatkan keunggulan tiap peserta. Namun, menurutnya, kampanye menggunakan hoax merupakan tindakan tercela.
"Kampanye kan sejatinya mengajak dengan menonjolkan kebaikan, keunggulan, dan hal positif lainnya yang bisa meyakinkan publik," ujar Afif.
"Berita bohong atau hoax itu sebaliknya, mengabarkan kebohongan dan apalagi dengan memfitnah pihak lawan politik. Jadi kampanye dengan menjual hoax sejatinya tindakan tercela, siapa pun pelakunya," sambungnya.
Peserta pemilu diminta memeriksa sumber informasi terlebih dahulu sebelum menyebarkannya. Hal ini dilakukan karena siapa pun dapat menjadi korban informasi hoax.
"Penting check and recheck serta memastikan kebenaran berita. Kita semua harus mengecek sumber informasi dari mana pun dia berasal. Jika kita tak mengecek berita atau informasi, siapa pun orangnya bisa jadi korban hoax sebagaimana kasus Ratna S ini," tuturnya.
Isu soal Ratna Sarumpaet dianiaya pertama kali diungkap oleh kubu Prabowo-Sandiaga. Polisi lalu melakukan penyelidikan dan tidak menemukan adanya dugaan penganiayaan itu.
Belakangan, Ratna mengaku berbohong soal kondisinya. Mukanya lebam-lebam bukan akibat penganiayaan, melainkan akibat operasi sedot lemak.
Prabowo, yang diketahui 'termakan' ucapan Ratna yang mengaku dianiaya, pun kemudian meminta maaf karena telah ikut menyebarkan berita bohong Ratna. Namun Prabowo merasa tidak bersalah.
"Kita berpikir positif, saya bersyukur (penganiayaan pada Ratna) tidak terjadi dan saya di depan rakyat Indonesia saya minta maaf," ucap Prabowo di kediamannya, Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, Rabu (3/10).
"Tapi saya tidak merasa saya berbuat salah," imbuh Prabowo.
(dwia/rvk)