Perantau asal Semarang itu berat hati meninggalkan anak cucunya di Palu. Namun, mereka terpaksa melakukan hal itu, demi mendapatkan pertolongan dari luar. Selain kekurangan stok makanan, mereka juga sudah tidak punya uang lagi untuk bertahan di sana. Belum lagi, bantuan juga belum masuk ke wilayahnya.
"Kami tidak tahu harus bagaimana lagi waktu itu. Akhirnya saya putuskan untuk keluar untuk mencari bantuan. Tapi sampai sekarang juga belum dapat. Saya khawatir dengan anak cucu saya di sana," kata Arif saat ditemui di tempat penampungan Bandara Hasanuddin, Rabu (3/10/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami tidak mungkin bawa anak-anak kecil begitu untuk keluar dari Palu. Apa lagi tidak ada kendaraan. Makanya, kami yang terpaksa keluar dulu, minimal mengurangi beban. Makanya kami sangat berharap, bantuan bisa segera didatangkan ke sana," ujarnya.
Pria yang sudah 15 tahun merantau di Palu dan bekerja sebagai pengumpul barang rongsokan itu, berkisah saat terjadi gempa. Ia bersama menantu dan cucunya, Naila yang berumur 1 tahun, sedang berada di rumah sakit Anutapura Palu. Cucunya sudah menjalani perawatan karena demam selama 6 hari.
"Waktu itu, saya sedang menjaga cucu saya di rumah sakit. Waktu gempa terjadi, saya langsung mencabut selang impus dan berlarian ke lantai satu. Getaran gempa yang kuat, membuat kami berkali-kali jatuh bangun di tangga hingga akhirnya bisa keluar," lanjutnya.
Setelah di luar rumah sakit, mereka melihat warga berhamburan berteriak ada tsunami. Merekapun panik karena lokasi rumah sakit memang tidak jauh dari pantai. Dengan menggendong cucunya yang masih lemas, ia berusaha berlari menembus kerumunan warga yang juga panik mendengar ada tsunami.
Tak mudah bagi dirinya yang sudah tua berlari sambil menggendong cucunya. Ia berkali-kali jatuh tersungkur saat tersenggol oleh warga yang berhamburan di jalan raya menyelamatkan diri. Sementara, gemuruh air dari arah belakangnya juga semakin keras terdengar.
"Betul-betul peristiwa ini tidak bisa saya lupakan. Saya malah berfikir sudah mati, tapi saya kasihan sama cucu saya. Makanya walau harus jatuh bangun, saya tetap berusaha lari menyelamatkan diri," akunya.
Saat malam pertama usai tsunami, ia mengaku harus berdiri menjadikan badannya sebagai atap saat hujan, untuk melindungi lima orang cucunya yang sedang tertidur. Rumah mereka sudah terbelah dan retakan lantainya penuh kubangan lumpur yang keluar dari dalam tanah.
"Saat itu, kami hanya berharap agar cucu kami yang masih kecil bisa selamat. Kami sudah tidak peduli dengan diri kami sendiri. Apa lagi malam pertama itu, kami hanya tidur di bawah pohon, karena rumah kami terbelah dan seperti tertelan bumi," kenangnya.
Rencananya, mereka akan tetap bertahan di Makassar, sembari menunggu kabar dari keluarga mereka di sana. Ia terus berdoa, agar anak dan cucunya itu bisa segera mendapatkan pertolongan dari relawan ataupun dari Basarnas. Mereka ingin, anak dan cucunya itu bisa dievakuasi ke tempat yang aman dan tidak kekurangan makanan
Simak Juga 'Basarnas: Lelah Saya Hilang Jika Menemukan Korban Selamat':
(asp/asp)











































