"Kami mengusulkan harus ada terobosan hukum yang dilakukan untuk membuat hadirnya negara dalam melindungi hak pilih warga negara dalam proses Pemilu berupa penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang," kata Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, di KPU, Jl Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Jumat (28/9/2018).
Titi mengatakan pemilih yang perlu difasilitasi di antaranya ialah warga yang berusia 17 tahun pada saat hari pemungutan suara, masyarakat adat yang tinggal di hutan, dan warga yang tinggal di tempat konflik. Serta ada pula warga yang belum memiliki e-KTP, salah satunya yang ada di Papua.
Titi mengatakan perppu diperlukan sebagai dasar hukum atas dua usulan bagi pemilih yang belum punya e-KTP. Sebelumnya, Kemendagri mengusulkan penerbitan suket melalui PKPU agar pemilih pemula tetap mendapatkan hak pilihnya. Sementara KPU mengusulkan penggunaan kartu pemilih untuk mengakomodir hak pilih warga.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya penyelenggara pemilu harus menjamin agar tak ada pemilih yang kehilangan haknya. Sebab terdapat potensi besar rawan konflik jika hal itu tak diselesaikan.
"Mengapa? Salah satunya pertimbangan dari IKP (Indeks Kerawanan Pemilu) yang diluncurkan oleh Bawaslu yang menyebut bahwa ada 43% lebih daerah yang kerawanannya tinggi berkaitan dengan pemutakhiran data pemilih," ujar Titi.
Ia mengatakan berdasarkan Putusan MK nomor 102/2009, tidak boleh ada prosedur administrasi untuk menghalangi warga negara menyalurkan hak pilihnya. Dengan demikian dia mendorong pemerintah menjamin tidak ada warga negara yang kehilangan hak pilih.
"Oleh karena itu di dalam pandangan kami kalau warga negara sudah berusia 17 tahun dan atau sudah pernah menikah lalu kemudian tidak sedang dicabut hak politiknya oleh pengadilan maka dia harus didata sebagai pemilih. Jadi tidak boleh ada alasan hanya karena misalnya dia tidak punya KTP elektronik maka dia tidak bisa didata sebagai pemilih," ungkap Titi. (yld/jbr)