"Saya rasa di era demokrasi hal ini lumrah. Permasalahan muncul karena tagar ini mendapat respons positif dari masyarakat, lebih laku dibanding tagar 'Jokowi 2 Periode' atau tagar Tetap Jokowi. Sehingga yang katanya surveinya tinggi, parpolnya banyak, mulai panik tagar ini direspons baik di medsos dan berbagai daerah," kata Andre dalam diskusi di Restoran Tjikini Lima, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (12/9/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau kita siap demokrasi, misalnya, yang nggak sepakat tagar kalau 2019 Ganti Presiden dibikin Sabtu, ya silakan Minggu bikin tandingan. Tapi, karena kita nggak siap demokrasi, semua cara dilakukan, aksi persekusi, premanisme, dan ada indikasi aparat ikut bermain untuk mendukung penghentian hal ini," tutur Andre.
Dia menambahkan, tagar '2019 Ganti Presiden' tidak membawa isu agama, sehingga sah-sah saja jika aspirasi lewat gerakan ganti presiden disuarakan di ruang publik.
"Kalau kita baca lirik lagu maupun deklarasi ganti presiden, itu tidak ada cerita agama. Yang ada simpel, bahwa hidup dulu tak susah dan mencari kerja susah, tapi kini mencari kerja makin susah. Intinya, tidak ada isu agama, hoax, fitnah terhadap pemerintah. Kalau pemerintah tak tertolong Go-Jek dan Grab, mungkin jutaan orang menganggur sekarang," kata Andre.
"Ini soal kemampuan kita menerima perbedaan. Mari kita anggap perbedaan ini bunga demokrasi. Tak perlu saling cegah, persekusi, diskriminasi. Begitu juga aparat yang tinggal melokalisir, dan tak perlu jadi wasit pemilu," lanjutnya.
Tonton juga 'Tanggapi '2019GantiPresiden', Wanda Hamidah: Wajar Polisi Bertindak!':
(idn/bag)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini