Suatu malam pada 1965, tak lama sebelum geger 30 September, Srimulat berbisik di telinga Teguh Slamet Rahardjo, suaminya. "Sebentar lagi bakal ada ontran-ontran. Pak Jenderal meminta kita berhati-hati. Sebaiknya kita tidak pulang dulu ke Solo untuk waktu cukup lama," kata Srimulat, dikutip Sony Set dan Agung Pewe dalam bukunya, 'Srimulat: Aneh yang Lucu!'. Raden Ayu Srimulat dan Teguh merupakan pendiri kelompok hiburan Srimulat.
Saat itu Srimulat sudah dua tahun hijrah dari Solo ke Surabaya. Tak cuma para pelawak dan awak Srimulat yang boyongan ke Surabaya, tapi juga berikut semua anggota keluarganya. Boyongan Srimulat besar-besaran ini juga merupakan ide dari Srimulat. Melihat situasi politik di Solo makin panas, Srimulat merasa kelompok mereka harus pindah jika ingin bertahan hidup.
"Situasi negara sedang gonjang-ganjing. Sebaiknya seluruh anak panggung dan artis kita pindah ke Surabaya," Srimulat menyampaikan usulnya ke Teguh. Teguh tentu saja kaget bukan kepalang mendengar ide istrinya. Memindahkan belasan orang saja sudah sulit, apalagi memindahkan puluhan anggota Srimulat. Tapi Srimulat terus meyakinkan Teguh. "Jika mereka tak pindah ke Surabaya, aku takut mereka akan jadi korban."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagaimana kisah Srimulat melewati badai, simak kisah lengkapnya di detikX, Hijrah Srimulat dan Kisah Keris Asmuni (pal/sap)