"Ada semacam kerinduan, ya, melihat keributan ini diakhiri," kata Fahri di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/8/2018).
Namun Fahri mengingatkan agar masyarakat tak terlalu larut dalam euforia ini. Sebab, dalam demokrasi, keributan merupakan suatu keniscayaan. Apalagi hari-hari ini mendekati Pemilu 2019.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebagai masyarakat demokrasi, jangan pernah bermimpi keributan akan berhenti. Karena demokrasi adalah pertandingan yang terus-menerus, terutama menjelang pemilu," ujarnya.
"Tidak dalam pemilu pun ada keributan, namanya trias politica. Yudikatif yang independen, eksekutif yang melakukan pembangunan, dan legislatif yang mengawasi. Checks and balances system itu artinya saling mengecek, artinya saling ngeributin," lanjut Fahri.
Meski 'keributan' dinilai wajar, Fahri mengingatkan soal rambu-rambu berdemokrasi. Dalam konteks Pemilu 2019, ia mengimbau para pendukung dan orang-orang di sekitar paslon tahu batas.
Menurut Fahri, kerap kali keributan justru terjadi bukan berasal dari paslon yang bertarung.
"Pak Prabowo tahu batasnya, Pak Jokowi juga mungkin tahu batasnya. Tapi penonton dan orang-orang di sekitarnya itu nggak tahu batas," tutur Fahri.
"Itu yang terlihat saat ini. Kayaknya yang menonton lebih semangat dari yang bertanding. Inilah yang perlu kita perbaiki dalam kultur demokrasi. Jangan terlalu bersemangat dalam pengertian melanggar hukum, keluar jalur, keluar batas, itu berbahaya bagi demokrasi kita," pungkasnya. (tsa/dnu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini