Soal #2019GantiPresiden, Kapitra: Bayangkan Seandainya Era Suharto

Soal #2019GantiPresiden, Kapitra: Bayangkan Seandainya Era Suharto

Kanavino Ahmad Rizqo - detikNews
Rabu, 29 Agu 2018 16:08 WIB
Kapitra Ampera (Kanavino/detikcom)
Jakarta - Caleg PDIP Kapitra Ampera mengatakan gerakan #2019GantiPresiden bermasalah karena ada yang menolak, sehingga berpotensi terjadi gesekan. Kapitra menyebut gerakan tersebut mengancam persatuan.

"Permasalahan yang sekarang itu menimbulkan resistensi, reaksi itu mengancam keutuhan dan persatuan. Lalu mengancam eksistensi kekuasaan yang legal, yang masih konstitusional," kata Kapitra dalam jumpa pers di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (29/8/2018).

Kapitra menilai seruan #2019GantiPresiden tak etis. Alasannya, Presiden Joko Widodo masih menjabat secara sah hingga Oktober 2019.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Secara etis, saya melihat nggak pas secara etika. Coba bayangkan seandainya zaman Pak Harto, lalu katakanlah panglimanya Prabowo atau Prabowo yang jadi presiden. Sekarang presidennya Prabowo, lalu Prabowo masih punya kekuasaan konstitusional sampai Oktober 2019. Itu pilpresnya, serah-terimanya Oktober 2019. Apa ini tidak... secara etika, secara kekuasaan apa tidak membuat resistensi?" ujar dia.


"Kayak saya, siapa yang bisa menjamin saya pilih, saya kan caleg dari PDIP. Siapa yang bisa jamin saya pilih Jokowi? Nggak ada yang tahu kan. Atau pilih Prabowo, nggak ada yang tahu kan? Ada perlindungan hak asasi tentang hak politik. Nah itu. Tapi jangan menyerang reputasi orang. Kalau dia jalan, belum jatuh tempo dia. Lalu diturunkan berarti ada reputasi yang terganggu," sambung dia.

Menurut Kapitra, tagar yang digunakan gerakan tersebut seharusnya diganti agar tak menuai kontroversi di masyarakat. Dia menyarankan tagar gerakan itu diganti dengan nama yang akan diusung pada Pilpres 2019.

"Kalau dia bikin 2019 pilih presiden baru berarti tidak mengganggu reputasi orang atau bikin hashtag 2019 Prabowo presiden. Ada balancing, ada harmonisasi. Kenapa? Dia merujuk kepada objeknya dan subjeknya sekaligus. Dan itu namanya dalam bahasa politik, nyuri start karena belum ada aturan yang melarang untuk melakukan kampanye," tutur dia.


Kapitra kemudian menyoroti kontroversi gerakan #2019GantiPresiden yang terjadi di Surabaya dan Pekanbaru. Menurut dia, UU memang mengatur kebebasan berpendapat tapi ada batasan yang harus dihormati masyarakat.

Dia kemudian merujuk pada UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Kapitra berpendapat polisi juga boleh membubarkan penyampaian pendapat itu jika dinilai tidak memenuhi unsur-unsur yang ada dalam aturan tersebut.

"Jika pasal 6 itu tidak terpenuhi, pasal 15 mengatakan pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum itu dapat dibubarkan oleh pihak polisi, jadi ada hak asasi, ada kewajiban asasi. Nah kalau sudah dia cenderung kepada, rusaknya kesatuan bangsa atau ada UU yang terlanggar, maka dia dapat dibubarkan," papar dia.

Dia menambahkan gerakan #2019GantiPresiden juga berpotensi melakukan penghasutan karena ingin mengganti presiden yang masih mempunyai kewenangan sah hingga Oktober 2019. Pendapat Kapitra didasarkan pada aturan di Pasal 160 KUHP.

"Saya ingin katakan ganti hashtag-nya, karena hashtag itu potensi melanggar, hashtag 2019 ganti presiden itu potensi melanggar hukum, baik secara nasional maupun internasional," ujarnya. (ams/tor)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads