Siapa sangka, hidup Rio tak secemerlang prestasinya. Rio lahir dari keluarga kurang mampu. Nasir, ayahnya, bekerja sebagai petani cokelat di Desa Tompi, Kulawi Selatan, Sulawesi Tengah. Sedangkan ibunya hanya mengurus rumah, yang berjarak puluhan kilometer dari Kota Palu.
"Kalau dari Palu pergi ke kampung Rio Risky masih ada 90 km, dari Kota Palu," kata Rasna, ibunda Rio, saat dihubungi detikcom, Selasa (28/8/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Rasna, sejak kecil bakat olahraga Rio tak terlihat. Bakatnya mulai tampak setelah disekolahkan di SMANOR Tadulako, Palu.
"Waktu SMP diambil sama Pak Jufri ke SMANOR. Di sana dia baru mulai belajar mendayung. Dulu tidak (suka dayung). Soalnya, di kampung tidak ada laut," ujar Rasna.
"Kalau dia tidak ada memang, tidak ada bakatnya. Semenjak diambil sama Pak Jufri itu. Ini kepala sekolah di SMANOR, dia punya jatah cari murid yang mau masuk di situ. Terus dia ke kampung, dia dapat itu Rio Risky," sambungnya.
Rasna hanya menyaksikan dari televisi saat Rio bertanding. Hanya Nasir yang menyaksikan langsung di Jakabaring Sport City, Palembang, bagaimana kehebatan Rio saat mendayung.
"(Saya) nonton langsung dari televisi. Nasir, Bapak, yang nonton langsung ke Palembang," tutur Rasna.
Rasna mengaku tak mengajarkan apa-apa kepada Rio hingga bisa menjadi atlet nasional. Saat Rio disekolahkan di SMANOR, Rasna dan suaminya hanya memberikan dukungan dan doa.
"Tidak, tidak diajari. Dukungan dan doa saja. Kami ini semua serahkan ke anak, dia kan yang jalani, bukan kita orang tua (Rio)," terang Rasna.
Rasna tak menyangka anaknya bisa meraih emas di pesta olahraga terbesar se-Asia itu. Namun Rasna dan suaminya bangga atas prestasi Rio.
"Perasaannya sangat bangga, terharu, tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata," ucap Rasna.
Keluarga Rio merupakan Keluarga Penerima Manfaat (KPM) Program Keluarga Harapan (PKH) tahun 2018. Rio sendiri berhasil menyabet emas cabor dayung kategori rowing LM8+. (zak/hri)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini