"Sebelum bicara tauhid, dalam memperkenalkan ajarannya Nabi mendahulukan tiga hal, yaitu pertama menyambung hubungan silaturahmi, sehingga tercipta kekeluargaan dan kekerabatan yang harmonis, yang menjadi cikal masyarakat yang aman dan damai," tutur Lukman dalam sambutannya sebelum dilaksanakan khotbah wukuf di Arafah, Senin (20/8/2018).
Hal kedua, lanjut Lukman, adalah menghentikan pertumpahan darah, atau dengan kata lain, memberikan jaminan hidup dan kehidupan. Lalu yang ketiga mengamankan jalan atau menjaga ketertiban umum.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lukman dalam sambutannya mengatakan keimanan sejati harus dibuktikan dengan cinta kepada sesama dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Betapa banyak orang yang mengaku beragama, lanjut Lukman, tetapi hatinya masih dipenuhi rasa kebencian, permusuhan, dendam kesumat kepada orang lain, dan penyakit-penyakit hati lainnya.
"Beragama tanpa rasa dan nilai kemanusiaan akan membuatnya hampa. Bahkan, hanya akan menjadi sumber malapetaka," tutur Lukman.
Baca juga: Jemaah Haji Mulai Bergerak ke Arafah |
Adapun khotbah wukuf ini akan diisi oleh KH Yahya Cholil Staquf dengan judul 'Memilih Rahmah'.
Berikut isi lengkap sambutan Lukman di Arafah pada 9 Dzulhijjah 1439 H/20 Agustus 2018 M:
1. Bersyukur berada di tempat dan hari yang agung, yaitu hari Arafah, bersama jutaan umat manusia dari berbagai penjuru dunia. Berkumpul untuk ber-taqarrub kepada Allah dengan penuh keikhlasan, bermunajat memohon curahan rahmat dan ampunan. Pintu ampunan-Nya terbuka lebar, dan rahmat-Nya tersebar luas melebihi hari-hari lain. Dalam sebuah riwayat Aisyah, Rasulullah bersabda :
مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنْ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ ، وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ، ثُمَّ يُبَاهِي بِهِمْ الْمَلَائِكَةَ ، فَيَقُولُ : مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ (رواه مسلم)
Tidak ada hari yang melebihi hari Arafah, tatkala Allah membebaskan hamba dari api neraka. Pada hari itu Allah mendekat kepada hamba-Nya, kemudian berbangga di hadapan malaikat-Nya seraya berkata, "apa yang mereka minta?" (HR. Muslim).
2. Allah membanggakan orang-orang yang berada di Arafah di hadapan para Malaikat-Nya karena mereka meninggalkan segala yang dimilikinya, datang kepada-Nya dari berbagai penjuru dunia dengan susah payah, hanya karena mengharap ampunan dan rahmat-Nya. Oleh karenanya, Allah mendekat kepada hamba-Nya di hari Arafah dengan menurunkan rahmat, kemuliaan dan maghfirah-Nya.
3. Mengajak seluruh jemaah haji Indonesia yang saat ini sedang melaksanakan wukuf di Arafah, di tempat dan saat yang mustajab, untuk mendoakan agar bangsa dan negara Indonesia selalu mendapat perlindungan dari Allah SWT, dihindarkan dari segala cobaan dan bencana, perselisihan dan permusuhan, serta ditingkatkan rasa persaudaraan demi terpeliharanya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dari bumi Arafah kita berdoa untuk saudara-saudara kita korban gempa di Lombok dan wilayah lainnya semoga Allah memberikan kesabaran dalam menghadapi musibah. Semoga derita mereka segera berlalu.
4. Bukan suatu kebetulan, puncak ibadah haji tahun ini dilaksanakan hanya berselang beberapa hari dari peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke-73. Sebuah peristiwa yang membangkitkan martabat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka. Penjajahan, apa pun bentuknya, menempatkan manusia dalam ketertindasan dan mengabaikan hak-hak kemanusiaannya. Merdeka berarti memuliakan manusia dan kemanusiaannya. Maka, dengan suara lantang, pada alinea pembukaan UUD 1945 dinyatakan, "bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan". Syukur tak terhingga kita panjatkan ke hadirat Yang Mahakuasa dari tempat mulia, Padang Arafah.
5. Mengingatkan pesan-pesan Rasulullah SAW yang disampaikan saat hajjatul wadâ 15 abad yang lalu. Saat berada di Arafah dan di Mina, beliau mengumandangkan pokok-pokok ajaran Islam yang sangat memuliakan manusia dan kemanusiaan. Dalam khutbahnya beliau mengatakan, "Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian 'haram' (untuk ditumpahkan, dirampas dan direndahkan). Ketiganya harus dipelihara seperti halnya hari, bulan dan tempat ini yang harus dijaga kesuciannya".
«فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا» (صحيح البخاري ، 2/ 176)
6. Dalam berbagai kesempatan Rasulullah memperkenalkan ajaran yang dibawanya sebagai membawa misi kemanusiaan. Dulu, di awal masa kenabian, setelah mendengar berita diutusnya seorang Nabi dan Rasul, ada seseorang yang mencari-cari Nabi yang baru diutus itu. Setelah bertemu dengan Rasulullah Saw, dia mengajukan beberapa pertanyaan. "Siapa engkau?", tanya orang itu. Rasul menjawab, "aku Rasul utusan Allah". Siapa yang mengutusmu? Nabi menjawab, Allah azza wajalla. Pesan-pesan apa yang kau bawa dari Tuhanmu? Nabi Muhammad menjawab, "aku diperintahkan untuk menyambung hubungan kekerabatan (silaturahmi), menghentikan pertumpahan darah, mengamankan jalan, menghancurkan berhala, sehingga hanya Allah semata yang disembah dan tidak ada sekutu bagi-Nya". Mendengar penjelasan itu, orang tersebut berkata, "alangkah indahnya ajaran yang kau bawa. Saksikanlah, aku beriman kepadamu dan aku membenarkan apa yang kau bawa itu (HR. Ahmad)
مسند أحمد مخرجا (28/ 231)
عَنْ أَبِي سَلَّامٍ الدِّمَشْقِيِّ، وَعَمْرِو بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، أَنَّهُمَا: سَمِعَا أَبَا أُمَامَةَ الْبَاهِلِيَّ، يُحَدِّثُ عَنْ حَدِيثِ عَمْرِو بْنِ عَبَسَةَ السُّلَمِيِّ، قَالَ: رَغِبْتُ عَنْ آلِهَةِ قَوْمِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ - فَذَكَرَ الْحَدِيثَ -، قَالَ: فَسَأَلْتُ عَنْهُ فَوَجَدْتُهُ مُسْتَخْفِيًا بِشَأْنِهِ، فَتَلَطَّفْتُ لَهُ حَتَّى دَخَلْتُ عَلَيْهِ، فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ، فَقُلْتُ لَهُ: مَا أَنْتَ؟ فَقَالَ: «نَبِيٌّ» ، فَقُلْتُ: وَمَا النَّبِيُّ؟ فَقَالَ: «رَسُولُ اللَّهِ» ، فَقُلْتُ: وَمَنْ أَرْسَلَكَ؟ قَالَ: «اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ» ، قُلْتُ: بِمَاذَا أَرْسَلَكَ؟ فَقَالَ: «بِأَنْ تُوصَلَ الْأَرْحَامُ، وَتُحْقَنَ الدِّمَاءُ، وَتُؤَمَّنَ السُّبُلُ، وَتُكَسَّرَ الْأَوْثَانُ، وَيُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا يُشْرَكُ بِهِ شَيْءٌ» ، قُلْتُ: نِعْمَ مَا أَرْسَلَكَ بِهِ، وَأُشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ آمَنْتُ بِكَ وَصَدَّقْتُكَ،
7. Pokok ajaran agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad, bahkan juga seluruh nabi dan rasul, adalah mengajak kepada tauhid. Qul innamâ ana basyarun mitslukum yûhâ ilayya annamâ ilâhukum ilâhun wâhid. Meski demikian, sebelum bicara tauhid, dalam memperkenalkan ajarannya Nabi mendahulukan tiga hal, yaitu: 1) menyambung hubungan silaturahmi, sehingga tercipta kekeluargaan dan kekerabatan yang harmonis, yang menjadi cikal masyarakat yang aman dan damai; 2) menghentikan pertumpahan darah, atau dengan kata lain, memberikan jaminan hidup dan kehidupan, dan; 3) mengamankan jalan, atau menjaga ketertiban umum. Baru setelah itu Nabi menyebut "menghancurkan berhala" dan "menyembah Allah semata".
8. Keimanan sejati harus dibuktikan dengan cinta kepada sesama dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Betapa banyak orang yang mengaku beragama, tetapi hatinya masih dipenuhi rasa kebencian, permusuhan, dendam kesumat kepada orang lain dan penyakit-penyakit hati lainnya. Beragama tanpa rasa dan nilai kemanusiaan akan membuatnya hampa. Bahkan, hanya akan menjadi sumber malapetaka.
9. Patut kita renungkan bersama, kisah seorang perempuan muslim yang dinyatakan oleh Rasulullah akan masuk neraka karena mengurung seekor kucing, tidak diberinya makan, sampai mati dalam kandang. Sebaliknya, seorang wanita pelacur dinyatakan masuk surga setelah diampuni Allah karena berkat rasa iba dan sayang dalam hatinya, sehingga dia mau memberi minum seekor anjing yang kehausan. Rasa 'kebinatangan' saja bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga, apalagi rasa 'kemanusiaan'.
10. Kita perlu membangkitkan kembali rasa kemanusiaan kita agar benar keberagamaan kita. Untuk itu, hati dan jiwa kita perlu dibangkitkan dari keterpurukan dan kegelapan akibat 'keakuan' dan keangkuhan. Cinta dunia; popularitas, kedudukan, gila hormat, sifat rakus dan lainnya itulah penyakit yang akan membutakan hati. Beragamalah dengan cinta dan kasih kepada sesama. Beragama tanpa cinta akan hampa tak bermakna. Sebaliknya, bercinta tanpa agama tak akan kekal bahagia.
11. Pada bagian akhir khutbahnya Rasulullah juga mengingatkan agar umatnya menjaga persaudaraan dengan tidak saling bermusuhan. "Sepeninggalku, janganlah kamu kembali berperilaku seperti orang-orang kafir; saling membunuh satu sama lain".
لاَ تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا، يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ (صحيح البخاري ، 2/ 176)
12. Salah satu prinsip Islam dalam membangun masyarakat adalah mempersatukan individu-individu dalam masyarakat melalui sebuah wadah persaudaraan. Dulu, pada masa awal Islam, iman yang tertanam dalam diri para sahabat berhasil mengubur permusuhan yang berkepanjangan di Madinah, terutama antara kabilah Aus dan Khazraj. Semangat persaudaraan itu pula yang menggerakkan kaum Muslimin di Madinah (al-Anshar) untuk menyambut dan menerima dengan hangat kedatangan kaum Muhajirin, yaitu orang-orang Muslim yang terusir dari kampung halaman mereka di Mekkah. Kaum Anshar begitu sangat mencintai orang yang berhijrah ke Madinah. Tidak ada pamrih sedikit pun, bahkan mereka lebih mengutamakan orang-orang Muhajirin dari pada diri mereka sendiri walaupun mereka memerlukan apa yang mereka berikan itu.
13. Persaudaraan itu begitu mendalam dan meleburkan berbagai kepentingan pribadi dan kelompok dalam wadah kebersamaan, persatuan dan kesatuan. Dalam wadah tersebut, beragam suku dan kabilah, warna kulit dan ras, hidup secara rukun dan damai, tanpa perbedaan. Persaudaraan mereka diilustrasikan dalam sebuah hadis Rasul bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh menderita sakit maka bagian tubuh yang lain akan panas dan demam. Solidaritas dan kepedulian antara sesama di kalangan mereka begitu tinggi, melampaui batas-batas kepentingan pribadi dan kelompok.
14. Semangat ini penting untuk kita kembangkan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama saat kita akan menyongsong pesta demokrasi di tahun 2019. Suhu politik menjelang Pemilu legislatif dan Pilpres bila tidak dikelola dan disikapi secara arif akan menimbulkan banyak persoalan. Gesekan dan persinggungan antara berbagai kepentingan akan mudah sekali menyulut konflik di tengah masyarakat. Oleh karena itu, dari Padang Arafah yang penuh berkah ini, saya mengajak kepada segenap masyarakat Indonesia, baik yang sedang melaksanakan ibadah haji di tanah suci maupun yang berada di tanah air, untuk meneguhkan kembali tekad memelihara persatuan dan kesatuan dalam wadah persaudaraan sebangsa dan setanah air.
15. Persatuan dan kesatuan bangsa tidak boleh tergadaikan oleh kepentingan pribadi dan kelompok. Dengan bersatu kita akan bisa membangun negeri, sebaliknya dengan berpecah belah dan saling bermusuhan kita akan gagal dan kehilangan harkat dan martabat sebagai bangsa. Allah berfirman dalam QS. Al-Anfal : 46
وَلاَ تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
Dan janganlah kamu berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang. Bersabarlah, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
16. Semua yang berada di sini berkepentingan untuk mendapatkan haji mabrur. Ketika ditanya tanda-tanda haji mabrur, Rasulullah saw menjawabnya dengan dua hal; إِطْعَامُ الطَّعَامِ (memberi makan orang miskin) dan إِفْشَاءُ السَّلاَمِ (menebar salam). Memberi makan fakir miskin adalah simbol kepedulian, dan menebar salam adalah simbol kedamaian. Karena itu, bila ingin mendapat haji mabrur dengan balasan surga, maka wujudkan kepedulian sosial, dan tebarkan kedamaian di tengah masyarakat setelah kembali ke tanah air.
17. Di akhir sambutan mengajak jamaah haji untuk memanfaatkan keberadaan di tanah suci dengan memperbanyak amal ibadah yang dapat memperkuat keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah Swt. Semoga Allah menerima segala amal ibadah kita, mengabulkan segala permohonan hamba-Nya dan menjadikan haji kita mabrur. Kita berdoa semoga seluruh jamaah haji Indonesia dapat kembali ke tanah air dalam keadaan sehat walafiat, meraih rahmat dan maghfirah dari Allah Swt. Demikian, wallahul muwaffiq ilâ aqwamittharîq. (fjp/dhn)