Ketika Presiden Sukarno berniat membangun tugu setinggi 132 meter (yang kemudian dinamai Monas), Perdana Menteri Uni Soviet, Nikita Khruschev menyindirnya. "Tuan Presiden, kalau orang sedang telanjang, maka yang harus didahulukan adalah beli celana. Jangan sedang telanjang yang didahulukan beli dasi," kata Khruschev seperti tertuang dalam buku Sahabat Lama, Era Baru: 60 Tahun Pasang Surut Hubungan Indonesia-Rusia karya Tomi Lebang.
Mendengar sindiran tersebut, Sukarno membalas, "Lha, pada waktu rakyat Soviet Uni sedang telanjang, sedang menderita, rakyat di Samar dekat Leningrad kelaperan. Kok, Soviet Uni mendirikan monumen-monumen, kokmendirikan lambang-lambang?"
Tak cuma dalam pembangunan Monas, Uni Soviet kemudian berperan besar dalam sejumlah proyek pembangunan infrastruktur Asian Games 1962. Salah satu yang paling sering disebut adalah Gelora Bung Karno dan Istora di Senayan.
Semua proyek itu dikebut pembangunannya begitu Indonesia dinyatakan sebagai tuan rumah penyelenggaraan Asian Games pada 1958, mengalahkan Pakistan. Padahal Indonesia kala itu cuma punya lapangan Ikada yang jauh dari memadai untuk acara berskala internasional.
"Pada saat proses penghitungan suara dalam sidang AGF, yang dihadiri secara lengkap oleh para anggotanya, yang diselenggarakan di Sankei Kaikan, akhirnya Jakarta berhasil mengumpulkan 22 suara pendukung, menang tipis atas Karachi, ibukota Pakistan, yang memperoleh 20 suara, sementara satu suara dinyatakan void atau batal," tulis Amin Rahayu dalam bukunya Asian Games 1962, Motivasi, Capaian, serta Revolusi Mental dan Keolahragaan d Indonesia.
Menurut Amin, kemenangan Indonesia itu adalah buah diplomasi setelah dua proposal sebelumnya selalu ditolak. Maklum, sebagai negara baru merdeka, Indonesia masih harus menghadapi berbagai gerakan separatis yang sangat mungkin mengganggu keamanan.
Ketika resmi ditunjuk sebagai penyelenggara, lalu berbagai infrastruktur olah raga dibangun, tak semua orang Indonesia setuju. Maklum, kala itu kondisi ekonomi masih morat-marit. Sehingga pembangunan yang dilakukan lebih dianggap sebagai 'Proyek Mercusuar' Sukarno.
Bung Hatta yang kala itu sudah mundur sebagai pendamping Sukarno secara khusus menyampaikan keberatannya lewat surat kepada Perdana Menteri Djuanda pada 24 Juni 1958. Selain kondisi ekonomi yang kembang-kempis, keikutsertaan Israel dan Taiwan bakal menjadi persoalan politik yang pelik. Kepada Djuanda, Hatta meminta agar kesediaan menjadi tuan rumah Asian Games ditinjau ulang.
Reaksi Sukarno sangat keras mengetahui hal tersebut. Kepada Cindy Adams dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, dia menyebut mereka yang mengkritiknya sebagai berwawasan picik dengan mentalitas warung kelontong karena menilai pembangunan infrastruktur sebagai penghambur-hamburan uang rakyat.
"Ini semua bukanlah untuk keagungankau, tapi agar seluruh bangsaku dihargai oleh seluruh dunia. Seluruh negeriku membeku ketika mendengar Asian Games 1962 akan diselenggarakannya di ibukotanya," kata Sukarno.
Memberantas kelaparan, ia melanjutkan, memang penting tapi memberi jiwa mereka yang telah tertindas dengan sesuatu yang dapat membangkitkan kebanggaan, ini juga penting."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk segala persiapan, Sukarno mendapat pinjaman dari Uni Soviet sebesar US$ 12,5 juta. Tentu tak semua dalam bentuk modal, tapi juga dengan mengirimkan para insinyurnya yang berpengalaman membangun stadion.
Selain utang dari Soviet, sejatinya hal yang membuat berani Sukarno untuk menjadi tuan rumah Asian Games adalah adanya dana pampasan perang dari Jepang. Jumlahnya, menurut Amin Rahayu, senilai 223.390.000 juta dolar AS yang akan dilunasi selama 12 tahun dengan cicilan 20 juta dolar AS selama 11 tahun, dan sisanya 3,08 juta dolar AS akan dilunasi pada tahun ke-12 atau 1970.
Soal peran Jepang dalam menyiapkan berbagai infrastruktur untuk Asian Games 1962 ini diungkapkan utusan khusus Presiden Jokowi untuk bidang ekonomi, Rachmat Gobel. Di hadapan ratusan pengusaha Jepang, dia mengungkapkan ada andil besar Jepang dalam pembangunan Hotel Indonesia, hotel di Sukabumi dan Bali, Stasiun TVRI, Sarinah, Jembatan Semanggi, Jembatan Ampera di Palembang, dan lainnya.
"Sampai sekarang jejak dan wujudnya masih ada dan sangat terasa manfaatnya. Ayah saya juga mendapat proyek pembuatan 10 ribu televisi bekerja sama dengan Matshusita," paparnya dalam Forum Bisnis Indonesia-Jepang, 29 November 2017.
Tonton juga video: 'Ekspresi Takjub Pejabat Tanah Air di Pembukaan Asian Games'
(jat/jat)