Derita kelam nan penuh air mata itu dirasakan romusa dalam membangun rel kereta api dari Pekanbaru ke Sijunjung, Sumatera Barat, sepanjang 220 km. Tri Modjo asal Desa Purworejo, Jawa Tengah, diboyong Jepang ke Riau untuk jadi romusa.
Tri satu di antara puluhan ribu romusa yang membangun rel. Mereka ditempatkan di beberapa lokasi berbeda. Ada di Pekanbaru, Kampar, Kuansing, hingga Sijunjung, Sumatera Barat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kata almarhum bapak saya, dia bersama romusa lainnya selalu kena cambuk hanya karena istirahat sebentar saja," kata Mislam Bianto (63), anak Tri Modjo, warga Jl Lokomotif, Pekanbaru, kepada detikcom, Jumat (16/8/2018).
Mislam menceritakan dulu ayahnya bekerja membangun rel kereta api di Pekanbaru. Jika sekarang, ujung rel ada di kawasan Hotel Furaya, Jl Sudirman, Pekanbaru. Dari sana, jalurnya ke arah Jalan Lokomotif.
"Nah, dari Jalan Lokomotif menuju ke jalur ujung Jalan Sisingamangaraja. Kan kawasan itu lembah. Dulu ada jembatan rel, dan saya masih menyaksikan di tahun 1963," kata Mislam.
Di kawasan persimpangan Jl Lokomotif dan Sisingamangaraja, dulu ada sungai. Jika hujan, air sungai membuat sejumlah kawasan banjir. Itu makanya Jepang membangun jembatan untuk lintasan kereta api.
"Sekarang hanya sisa parit kecil dan airnya juga sudah tak ada. Dulu itu sungai besar," kata Mislam.
Dari cerita orang tuanya, kawasan itu dijadikan tempat pembuangan mayat. Siapa saja romusa yang sakit karena bekerja tanpa diberi makan yang layak dan sering disiksa, mereka akan ditembak mati.
"Jepang menembaknya sengaja di depan romusa lainnya. Bapaknya sering menyaksikan itu. Katanya, dia hanya bisa terdiam, tak bisa berkutik sebagaimana romusa lainnya," kata Mislam.
Banyak sekali romusa yang jatuh sakit selama membangun rel kereta api. Dari pagi hingga puncaknya matahari bersinar, romusa terus bekerja membentangkan besi dan meratakan perbukitan di Jl Lokomotif.
Malam hari pun, dengan penerangan seadanya, mereka dipaksa bekerja. Kadang perut mereka lapar, tenggorokan haus, tapi mereka tak bisa berbuat banyak.
"Jarang dikasih makan. Istirahat pun tengah malam hanya beberapa jam. Tak mau bekerja, mereka dicambuk hingga berdarah-darah," kata Mislam.
Sesama romusa kadang harus membuang bangkai teman mereka sendiri setelah ditembak Jepang. Mayat-mayat itu terpaksa mereka bopong menuju kawasan sungai.
"Karena dipaksa Jepang, ya sudah, jasad-jasad itu dibuang begitu saja di bawah jembatan rel itu. Kalau mereka tak mau membuangnya, pasti dimatikan tentara Jepang," kata Mislam. (cha/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini