"Semua anak-anak menangis histeris sambil berteriak ketakutan," tutur warga Mulyadi (31) menceritakan saat seluruh rumah warga Dusun Kakong roboh akibat bencana gempa.
"Saya berlari panik sambil menggendong anak saya yang menangis ketakutan. Istri saya juga ikut berlari bersama warga yang lain, padahal dia sedang hamil besar," tutur Mulyadi. Tak ada yang saling pedulikan, semua warga berhamburan, menyelamatkan diri, dinding tembok rumah semuanya runtuh," tuturnya kepada detikcom, Kamis (8/8/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ndak ada barang berharga yang bisa diselamatkan. Semua menyelamatkan nyawanya sendiri," tambahnya.
Hingga menjelang pagi, hampir seluruh warga Dusun Kakong tak ada yang berani tidur, semuanya terjaga. Dari jauh mereka tak sampai hati melihat bangunan rumah mereka yang sudah tak berbentuk lagi.
"Semua kami ndak ada yang berani dekati rumah. Ada yang tidur di tengah kebun dan ladang dan hanya beralaskan daun pisang. Tapi ada juga yang ndak bisa tidur sampai pagi," ungkapnya.
Hingga Senin pagi, (6/8) salah seorang warga baru mengetahui kalau ada yang anggota keluarganya tewas tertimpa reruntuhan. Ada 15 orang mengalami luka-luka.
Bertahan Seadanya
Tak ingin berduka lebih lama, Senin sore (6/8) seusai memakamkan salah seorang warganya yang meninggal dunia akibat gempa, Yardi (42), Kepala Dusun Kakong mengumpulkan warganya untuk segera berbenah. Tiga tenda didirikan seadanya di ladang kacang milik seorang warganya sebagai tempat sementara untuk berteduh dari terpaan hujan dan embun malam.
Dua tenda memanjang berukuran 2x10 meter dan satu lagi tenda berukuran 2x5 meter belum cukup untuk melindungi 450 jiwa yang akan berteduh di dalam tenda. Yardi tak kehabisan akal. Ia membagi tim.
Sementara warganya yang perempuan, menginap dalam tenda. Sementara yang laki-laki, sebagian ada yang tidur dalam tenda dan ada yang disebar di berugaq. Mereka tersebar di beberapa titik lokasi berugaq depan halaman rumah warga.
Yardi membagi jadwal pengamanan kampung. Apalagi, ia sempat mendengar dari kampung sebelah tentang adanya isu maling yang mulai mengintai dan memanfaatkan situasi kampung yang sedang lengang akibat ditinggalkan pemiliknya. Sebagiannya lagi tetap berjaga-jaga dan melakukan ronda di kandang kelompok bersama peternak sapi.
Untuk memenuhi kebutuhan makanan, warga Dusun Kakong mengumpulkan beras dan bahan pokok lainnya yang masih tersisa. Setiap kepala keluarga yang berjumlah 125 itu diminta menyumbang beras dan sisa bahan makanan. Untuk sayur-mayur, mereka ambil dari hasil ladang dan kebun masing-masing.
Suharni (45) ditunjuk sebagai koordinator urusan dapur. Jadwal makan dibagi; tiga kali dalam sehari. Rata-rata sampai 150 kilogram beras dihabiskan.
"Kami makan bersamaan, dengan cara 'begibung' dalam satu nampan besar dikumpul jadi lima, enam orang," jelas Suharni. Begibung merupakan tradisi makan bersama ala suku Sasak menggunakan nampan atau piring besar sebagai wadah nasi, lauk dan sayur. Ada juga yang menggunakan daun pisang sebagai wadah makanannya.
"Stok makanan kami sudah hampir habis. Kemarin sudah saya lapor ke Pak Kadus (kepala dusun). Kami belum dapat jatah bantuan. Kalau air untuk minum kami tidak susah, di sini ada mata air," ungkapnya.
Jarak Dusun Kakong, Desa Bentek, Kecamatan Gangga dari Lapangan Umum Tanjung oleh Pemerintah Kabupaten Lombok Utara dijadikan sebagai pusat pengungsian sekitar 17 kilo meter. Posisi dusun yang agak menjorok ke dalam ini memang luput dari perhatian bantuan.
Aliran listrik ke Dusun Kakong teputus. Untuk alat penerangan, warga menggunakan satu mesin genset kecil. Itu pun hanya mampu menerangi areal tenda pengungsian.
Relawan Dengar Rintihan Minta Tolong di Balik Reruntuhan Masjid, Simak Videonya:
(asp/asp)











































