"Napi korupsi itu pada dasarnya low risk, cuma masalah terjadi karena adanya diskriminatif dan dia bisa menggoda petugas untuk mendapatkan fasilitas lebih," papar Yasonna yang pernah menjadi pengacara dan akademisi Universitas HKBP Nommensen itu saat blak blakan detikcom yang tayang Jumat (3/7/2018).
Baca juga: Curhatan Napi Lapas Sukamiskin |
Seharusnya, dia melanjutkan, setiap penjara atau lapas memang dilengkapi dengan fasilitas yang manusiawi. Tapi karena keuangan negara yang tidak memungkinkan dan jumlah narapidana maupun tahanan terus bertambah, kondisinya menjadi sangat tidak manusiawi. Dari situ kemudian muncul berbagai ekses dan penyimpangan, antara lain jual-beli fasilitas.
"Tapi bila setiap petugas mematuhi betul SOP (prosedur operasi standar) yang kami buat, penyimpangan seperti di Sukamiskin itu bisa tereliminasi," ujar Yasonna yang meraih doktor dari North Carolina University pada 1994.
Pada bagian lain dia mengakui karena keterbatasan anggaran, jatah makan saja untuk para napi cuma Rp 15 ribu perhari. Dengan sekian ratus ribu napi dan tahanan, setiap tahun negara harus mengeluarkan sekitar Rp 1 triliun.
Soal wacana pembangunan penjara di pulau terpencil untuk para napi bandar narkoba dan koruptor, Yasonna pun dengan tegas menolak. Sebab hal itu sangat berpotensi melahirkan pelanggaran hak para napi dan keluarganya.
Menurut politisi PDI Perjuangan yang lahir pada 27 Mei 1953 itu, semua napi punya hak untuk dikunjungi, mendapat perawatan, dan bersosialisasi di lingkungan lapas. Menurut UU, kata dia, yang dicabut dari seorang narapidana itu adalah kemerdekaan bergeraknya. Karena itu ditempatkan di sel.
Napi yang tidak dikunjungi keluarga, menurut Yasonna, bisa stress. Dia mencontohkan kasus napi asal Papua di Sukamiskin yang akhirnya meninggal dunia karena stres tak dikunjungi keluarga. "Ongkosnya mahal, bisa puluhan juta untuk bertemu. Saat meninggal, pihak Lapas juga yang repot karena butuh biaya besar untuk memulangkan jenazahnya ke Papua," paparnya.
Daripada membangun lapas di pulau terpencil, dia mengaku telah berbicara dengan Presiden Jokowi agar mengoptimalkan lahan di Nusakambangan. Di sana luasnya mencapai 21 ribu hektare sehingga bisa dibangun sampai 10 penjara. "Zaman Belanda dulu ada 12 penjara di sana sekarang tinggal tujuh," ujarnya.
Saat ini di Nusakambangan sedang dibangun penjara dengan pengamanan ekstra dan dilengkapi sejumlah peralatan canggih untuk napi terorisme. Juga sedang dibangun bangunan baru untuk Bandar narkoba di lapas Batu.
Selain melengkapi dengan peralatan canggih sebagai pengaman, Yasonna menyebut telah meminta bantuan dari koleganya, Menteri Pekerjaan Umumuntuk membangun sodetan karena sudah ada pendangkalan di sana. "Lalu nanti kita juga akan buat pos-pos untuk TNI yang bertugas di kawasan tersebut," ujarnya.
Dari kajian tim Kementerian Hukum dan HAM, bila membangun penjar di pulau terpencil, anggaran dan ongkos sosialnya sangat besar. Sebab para petugas yang ditempatkan dipastikan harus membawa keluarga mereka. Ini artinya juga perlu dibangun sekolah untuk anak-anaknya, juga membangun berbagai infrastruktur pendukung lainnya.
"Kan tidak mungkin kita rotasi setiap minggu atau bulan. Tentu akan mahal sekali biayanya," ujar Yasonna.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini