"Dari tahun 2000 kami sudah memberikan konsepnya bahwa DPD itu harusnya memang mewakili kepentingan daerah. Jadi Memang ada dulu yang namanya utusan daerah dan utusan golongan mungkin kalau kita ingat," kata ahli hukum tata negara dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti dalam diskusi 'DPD Bebas Parpol' di Gado-Gado Boplo, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (28/7/2018).
Bivitri menyatakan cara memaksimalkan fungsi DPD adalah dari mana anggota DPD itu berasal. Mereka yang berasal dari parpol akan cenderung lebih mengurusi partainya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dari segi keanggotaannya selama ini kita luput, malah jadi makin lemah. Akibatnya, daerah kurang terwakili karena pada akhirnya ketika di daerah, bias-bias parpol lebih kuat dengan kepentingan daerah masing-masing," imbuhnya.
Menurut Bivitri, peluang anggota DPD berasal dari partai politik harus ditutup. Misalnya saja dengan mengubah undang-undangnya.
"Tapi biasa saja orang-orang yang menyatakan mundur dari parpol, begitu kepilih balik ke pengurus lagi. Harus diadvokasikan untuk tutup peluangnya. Misalnya dengan mengubah UU MD3," ujar Bivitri.
"Kita kembalikan betul konsep kelembagaan DPD jangan sampai masyarakat daerah ditinggal terus. Kalau bicara kesejahteraan rakyat, kan baliknya ke daerah. Kalau bicara proses politik yang begitu berat kaitannya dengan kepentingan parpol," imbuhnya.
Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi memutuskan pengurus parpol dilarang menjadi calon anggota DPD/senator. Keputusan MK soal anggota DPD tidak boleh lagi rangkap jabatan dengan menjadi pengurus parpol termaktub dalam putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018 yang dibacakan pada Senin (23/7).
Tonton juga video: 'Kata Pengamat soal Pengurus Parpol Dilarang Nyaleg DPD'
(rna/rna)