"Kita tidak bisa menjanjikan itu (selesai sebelum Pilpres 2019)," kata Prasetyo di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/7/2018).
Prasetyo menjelaskan, penuntasan pelanggaran HAM berat di masa lalu itu terbentur pada persoalan undang-undang. Berbagai kasus yang terjadi sebelum tahun 2000 tak bisa dijerat dengan UU 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sementara untuk kasus yang lain, tujuh lainnya itu kan terjadinya sebelum kita memiliki UU itu. Nah, di situ perlu ada keputusan politik dari DPR perlu dibentuk peradilan ad hoc yang sampai sekarang semuanya belum ada," imbuh Prasetyo.
Dia menuturkan, kasus-kasus pelanggaran HAM yang paling mungkin dituntaskan ialah yang terjadi mulai dari tahun 2000. Salah satunya, Prasetyo mencontohkan, kasus yang terjadi di Abepura, Papua.
"Seperti kasus yang terjadi di Aceh, Abepura," ujarnya.
Prasetyo kemudian menambahkan agar penuntasan kasus pelanggaran HAM berat ini tak dikaitkan dengan program Nawacita Presiden Joko Widodo (Jokowi). Yang jelas, semangat mengungkap pelanggaran HAM berat ini tidak pernah padam.
"Jangan kaitkan dengan janji Nawacita, ini semuanya masalah bersama. Ini kasusnya sudah lama dilakukan sejak zaman Presiden Soeharto. Sebelumnya sudah pernah ada pernyataan seperti itu tapi terkendala pada realitas bukti dan fakta yang harus dikumpulkan ya," jelas Prasetyo.
"Semangat untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu itu tak pernah padam," imbuhnya.
Sebelumnya, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menyatakan Presiden Jokowi memerintahkan Jaksa Agung untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat. Itu disampaikan Jokowi saat bertemu dengan Komnas HAM.
Pertemuan ditutup dengan pernyataan Presiden yang memberikan perhatian untuk segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang berat dan memerintahkan Jaksa Agung untuk segera menindaklanjutinya," ungkap Ahmad Taufan Damanik, Jumat (8/6). (tsa/elz)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini