"Pertemuan 'terlarang' Wiranto dengan pejabat Mahkamah Agung membuat 'noda hitam' dalam Kabinet Kerja Presiden Jokowi," kata Wakil Sekjen Bidang Hukum DPP Partai Hanura Petrus Selestinus dalam keterangan pers tertulisnya, Selasa (10/7/2018).
Soal adanya pertemuan terlarang itu, dia merujuk pada surat dari Wiranto selaku Ketua Dewan Pembina Partai Hanura yang ditujukan kepada Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang. Surat itu tertanggal 5 Juli 2018 dan berkop surat lambang Partai Hanura.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Surat Wiranto secara kasatmata telah membuka tabir praktik penyalahgunaan wewenang eksekutif yang dilarang oleh UUD 1945, UU Kekuasaan Kehakiman, dan UU Administrasi Pemerintahan," kata Petrus.
Melalui surat itu, Wiranto menjelaskan telah menggelar rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan pada 5 Juli 2018. Rapat itu dihadiri unsur KPU, DKPP, Kemenkum HAM, PTUN Jakarta, dan Mahkamah Agung.
Kata Wiranto dalam surat yang ditunjukkan Petrus itu, baik KPU, DKPP, Kemenkum HAM, PTUN Jakarta, dan MA sepakat bahwa Hanura mengikuti pencalegan dengan mengacu pada SK Menkum HAM M.HH-22.AH.11.01 tanggal 12 Oktober 2017 dengan Ketua Umum Oesman Sapta dan Sekretaris Jenderal Sudding, sesuai dengan keputusan PTUN dalam gugatan sengketa Partai Hanura.
Pertemuan itu, kata Petrus, melanggar UU Administrasi Pemerintahan dalam tiga kategori, yakni melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang, dan bertindak sewenang-wenang.
"Wiranto bertindak melampaui wewenang karena Wiranto telah mengundang Mahkamah Agung dan Ketua PTUN Jakarta membangun kesepakatan atas perkara yang sedang berjalan, di mana Wiranto memiliki konflik kepentingan atas perkara di PTUN Jakarta. Itu berarti Wiranto telah bertindak melampaui batas wewenangnya sebagai Menko Polhukam dengan melanggar UU," tutur Petrus.
Wiranto juga ditudingnya mencampuradukkan wewenang sebagai Menko Polhukam dan sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Hanura. Wiranto juga dituding bertindak sewenang-wenang karena dia bertindak tanpa dasar kewenangan dan bertentangan dengan putusan sela PTUN Jakarta. Wiranto dinilai berusaha mengembalikan kepengurusan sesuai SK Menkum HAM Nomor M.HH-22.AH.11.01 Tahun 2017 tanggal 12 Oktober 2017, yakni Oesman Sapta sebagai Ketum dan Sudding sebagai Sekjen. Padahal SK itu masih menjadi objek sengketa di PTUN karena kubu OSO mengajukan banding.
Baca juga: Hanura Ogah Aku Sudding sebagai Sekjennya |
Lebih lanjut Petrus menilai aksi Wiranto mengadakan rapat soal Hanura dengan mengumpulkan unsur PTUN Jakarta hingga Mahkamah Agung telah mencoreng Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo. Aksi Wiranto ini dinilainya seperti Orde Baru yang doyan mengintervensi kekuasaan badan peradilan dan partai politik.
"Jabatan Wiranto sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Hanura telah menimbulkan konflik kepentingan bagi Wiranto, sehingga pertemuan Wiranto dengan pihak Mahkamah Agung dan Ketua PTUN Jakarta menjadi pertemuan yang bersifat terlarang, terlebih lagi karena dilarang oleh UU," kata dia. (dnu/ear)