Pembalakan Liar Marak di Kawasan TNBT
Selasa, 26 Jul 2005 20:23 WIB
Jambi - Kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) yang berada di dua wilayah Provinsi Riau dan Jambi kini marak pembalakan liar. Akibatnya, selain merusaktatatan sebagai kawasan taman nasional juga merusak habitat satwa liar dan sumber penghidupan suku tradisional (Orang Rimba) dan suku pedalaman di Riau (Talang Mamak).Hal itu diungkapkan Koordinator Konsorsium Bukit 30 (Warung Informasi) Warsi, LSM lingkungan yang berpusat di Jamba, Diky Kurniawan dalam emailnya yang diterima detikcom, Selasa (26/07/2005).Secara umum, gambaran umum terbentuknya Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT)merupakan hasil lobbi atas dasar kerjasama proyek penelitian NORINDRA (Norwegian-Indonesian Rain Forest and Resource Management Project) Tahun 1991-1992.TNBT secara resmi dibentuk pada tahun 1995 melalui SK Menhut No. 39/Kpts-II/1995tanggal 5 Oktober 1995 dengan luas 127.698 hektar yang berasal dari perubahan fungsi HL Haposipin dan HPT di Prop. Riau (94.698 hektar) dan HL Sengkati Batanghari di Jambi (33.000 hektar)."Tujuan yang ingin dilakukan mengenai TNBT ini adalah perlindungan hutan alam terisa yang penting di dataran rendah tengah Sumatera dan mempertahankan kawasan yang secara nyata menghubungkan habitat berdasarkan analisa substantif koridor biologi potensial," kata Diki.Lebih lanjut Diki menambahkan, ada kendala tentang TNBT itu sendiri. Misalnya, hutan yang sudah tereksploitasi sehingga menyebabkan daya dukung habitat dan fungsi hidrologi kurang optimal, serta menyulitkan dalam pengelolaan/pengamanannya. Selain itu, pemanfaatan lahan berkriteria lindung (di areal HPT) oleh kegiatanekploitasi hutan (konsesi HPHTI), kawasan hutan penyangga dikonversi menjadi areal HTI, perkebunan dan pertambangan, serta penebangan liar sehingga merusak habitat penting satwa liar dan sumber penghidupan suku tradisional. Faktor lain yakni masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat dan dukungan pemerintah (daerah), serta kurang terpadunya pengelolaan TNBT dan daerah penyangganya. "Kondisi TNBT terakhir, menunjukkan akses jalan darat (eks logging) menuju kawasan TNBT sangat tinggi. Juga, masih banyak daerah di sekitar TNBT yang berdasarkan sifat fisik kawasan berfungsi lindung, terutama areal HPT. Serta maraknya konversi lahan untuk perkebunan besar swasta maupun perorangan, HPH/HTI, perladangan dan permukiman," kata Diki. Saat ini, katanya Konsorsium Bukit 30 telah melakukan pendampingan terhadap 24 Desa penyangga TNBT yang terletak di wilayah provinsi Riau dan Jambi. Tujuannya,menemukenali dan menggali potensi dan masalah pembangunan serta pengelolaan ruang dan sumberdaya di desa-desa interaksi utama. Sedangkan Konsorsium B30 itu, kata Diki, terdiri atas KKI Warsi, Yayasan Gita Buana (Jambi)Yayasan Cakrawala (Jambi), Yayasan Alam Sumatra (Riau) dan Yayasan Sialang (Riau)."Tim Konsorsium ini terdiri atas unit Fasilitator Desa dan Kabupaten, Forester, Advokasi, Legal Officer dan Komunikasi, yang telah bekerja sejak awal April lalu," jelas Diki. Dia juga menambahkan, Kawasan Bukit Tigapuluh mengandung keanekaragamanhayati yang sangat tinggi dan tak ternilai harganya, termasuk 603 jenis biota obat (Ekspedisi Biota Medika, 1988). Disana juga menjadi habitat penting dari satwa langka (terutama gajah, harimau dan tapir) dan puspa langka/endemik (terutama cendawan muka rimau, salo dan bunga bangkai). "Juga merupakan kawasan hidup dan sumber penghidupan masyarakat tradisonal di sekitarnya yang masih tergantung pada sumberdaya hutan, terutama Orang Rimba dan Talang Mamak," urai Diki.
(ddn/)