"Kekuatan pengawasan diberikan kepada legislatif dengan segala konsekuensinya seperti hak memanggil secara paksa apabila panggilan tidak dipenuhi," kata Fahri kepada wartawan, Jumat (29/6/2018).
"Itu adalah keniscayaan yang harus hadir. Karena, tanpa itu, fungsi pengawasan DPR menjadi tak ada gunanya," ucap Fahri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya, MK membatalkan pasal kewenangan DPR memanggil paksa seseorang atau kelompok. Kewenangan DPR memanggil paksa diatur dalam UU No 2/2018 tentang MD3 kini telah dianulir.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," putus Ketua MK Anwar Usman di gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (28/6) kemarin.
Putusan tersebut menghapus Pasal 73 ayat 3 dan ayat 4 huruf a dan c serta Pasal 122 huruf k. Menurut MK, pasal yang dihapus itu menggeser kewenangan MKD lewat UU MD3.
Tonton juga 'MK Cabut Pasal 'Panggil Paksa' dan 'Izin MKD' dalam UU MD3':
Selain membatalkan kewenangan DPR memanggil paksa warga negara dan golongan, MK menghapus soal rekomendasi anggota Dewan yang dipanggil penegak hukum. Pemanggilan anggota Dewan oleh penegak hukum hanya butuh izin presiden.
Dalam Pasal 245 ayat 1 UU No 2/2018 tentang MD3, pemanggilan anggota Dewan oleh penegak hukum harus lewat izin presiden dan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Pasal itu kini 'diubah' MK, sehingga pemanggilan anggota Dewan hanya berdasarkan izin presiden.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini