Desa yang terletak di tengah Hak Guna Usaha (HGU) PT Kallista Alam ini dihuni 80 Kepala Keluarga (KK). Letak rumah warga saling berdekatan. Pada siang hari, suasana perkampungan tergolong sepi karena mayoritas penduduk pergi ke kebun sawit milik mereka yang terletak di dalam HGU PT SPS.
Untuk mencapai desa, harus melewati pos pemeriksan di pintu utama masuk ke PT Kallista Alam. Dari pos ini, butuh waktu sekitar 30 menit dengan menyusuri jalan di antara pohon sawit. Sepanjang jalan, ada beberapa rumah yang dibangun untuk pekerja di sana. Namun Desa Kuala Seumayam terpisah dengan rumah-rumah tersebut.
"Sebelumnya kampung kami bukan di lokasi ini. Tapi di lokasi yang sekarang menjadi HGU PT SPS. Kami pindah ke sini setelah rumah di sana dibakar waktu konflik," kata tokoh masyarakat Desa Kuala Seumayam, Zainuddin (45), Kamis (28/6/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masyarakat terjebak di antara peperangan. Sebagian memilih meninggalkan perkampungan, dan sebagian warga akhirnya direlokasi ke tempat saat ini. Kala itu, mereka berpikir hanya mengungsi sementara. Pasca damai, masyarakat Kuala Seumayam berniat untuk kembali ke perkampungan lama.
"Tapi dilarang oleh PT SPS karena (perkampungan kami) masuk HGU PT SPS. Tahun 2008 kami ingin kembali ke sana," jelas Zainuddin.
Warga saat itu tidak bisa berbuat banyak dan kalah dengan perusahaan. Padahal, kata Zainuddin, perkampungan mereka di sana sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Bahkan, orang tua mereka dulu juga sempat berperang melawan Portugis.
"Di desa lama itu pohon kelapa saja sudah tinggi-tinggi. Berarti kampung kami sudah lama. Sebelum merdeka sudah ada," ungkap ayah dua anak ini.
Pemerintah sendiri mengeluarkan HGU untuk PT SPS yaitu tahun 1997 dan 1999. Pemerintah memberi izin kepada perusahaan tersebut untuk menggarap lahan di sana. Usai mengantongi izin, PT SPS menanam sawit termasuk ke desa lama Kuala Seumayam.
Mengetahui desa mereka masuk HGU, warga tidak tinggal diam begitu saja. Meski kini tinggal di lahan seluas 1,5 hektare di dalam HGU PT Kallista Alam, tapi warga mengklaim sebagian lahan di dalam HGU PT SPS milik mereka. Sebagian masyarakat di sana memilih menanam kelapa sawit di lahan PT SPS.
"Lahan saya di HGU SPS seluas empat hektare. Tapi baru seperempat hektare yang baru saya tanami sawit. Sekarang sudah mulai panen tapi belum banyak," ungkap Zainuddin.
Zainddun mulai berkebun di HGU SPS sejak 2005 silam. Kala itu, lokasinya masih hutan belantara. PT SPS belum sepenuhnya menggarap lahan. "Tanah yang saya pakai untuk tanam sawit ini tanah dasar waktu kami masih di desa lama," jelasnya.
Warga berharap, pemerintah memberikan infratruktur dan perluasan lahan menjadi empat hektare. Soalnya, jika ada warga desa yang meninggal mereka tidak punya lokasi untuk pemakaman. Salah satu jalan keluarnya, warga harus membawa jenazah ke kampung lama yang berjarak sekitar 3 jam dengan menyusuri sungai.
"Masyarakat berharap ada perluasan lahan perkampungan. Kami di sini, sekolah dasar saja cuma ada sampai kelas 3," ungkapnya. (asp/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini