Hasil hitung cepat atas pilkada serentak, 27 Juni 2018, memperlihatkan 11 dari 17 calon gubernur dan wakil gubernur yang diusung PDI Perjuangan kalah. Beberapa calon yang diusung PDIP baru diumumkan beberapa saat sebelum batas akhir pendaftaran (injury time), selain faktor ketokohan dan salah penempatan wilayah, yang ikut andil.
Secara fair Sekretaris Badan Pendidikan dan Pelatihan DPP PDIP Eva Kusuma Sundari mengakui faktor ketokohan calon yang diusung hingga popularitas menjadi penyebabnya. "Mungkin karena ketokohan yang nggak pas, strategi kampanye yang nggak pas, tapi ini by case, ya," ucapnya kepada para wartawan, kemarin. "Kayak di Jabar, yang kita kalah itu kan bukan daerah kita. Pilgub selalu kalah ya di Jatim," imbuhnya.
Dari catatan detikcom, untuk Jawa Barat, sejumlah lembaga survei sejak awal mengunggulkan Ridwan Kamil (RK) untuk memimpin wilayah tersebut. Para elite PDIP pun mengakui dan pernah mengundang Wali Kota Bandung itu pada akhir Agustus 2016 berbicara di Sekolah Kepala Daerah PDIP di Depok.
Saksikan juga video 'Koalisi Partai yang Berseteru':
[Gambas:Video 20detik]
Dalam acara yang dihadiri Ketua Umum PDIP Megawati itu, RK tampil berkemeja merah, khas PDIP. Pada pekan pertama Januari 2018, dia juga sempat sowan kepada Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto di kantor DPP PDIP, Jakarta. Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno pun pernah menyebut Ridwan mungkin akan disandingkan dengan mantan Kapolda Jabar Anton Charliyan.
Tapi akhirnya batal karena partai-partai yang sudah lebih dulu mengusung sepakat memilih Bupati Tasik Uu Ruzhanul Ulum. PDIP seolah banting setir dengan tergagap dan mengajukan nama Tb Hasanuddin dan Anton ke KPU. Meskipun menjabat Ketua DPD PDIP Jabar, nama Tb Hasanuddin kurang familiar di masyarakat. Hasil survei Indo Barometer pada Februari 2018 menyebut elektabilitas Hasanuddin cuma 1 persen.
Sedangkan Anton kadung dicitrakan kurang bersahabat terhadap kelompok Islam. Saat menjadi Kapolda pada 2016, dia pernah menangani perseteruan antara Front Pembela Islam dengan Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI).
Di Jawa Timur, posisi Saifullah Yusuf dan Khofifah Indar Parawansa, yang sama-sama kader NU, diakui banyak pihak setara. Karena itu, faktor calon wakil gubernur menjadi krusial. Setelah Abdullah Azwar Anas mengundurkan diri karena skandal foto mesra di hari-hari menjelang batas pendaftaran, akhirnya PDIP menyodorkan Puti Guntur Soekarno. Ini tergolong akrobat nekat, karena Puti sejatinya lebih dikenal di Jawa Barat. Upaya menggenjot elektabilitas Puti dalam waktu mepet jelas sangat berat, dibandingkan dengan Emil Dardak, yang menjadi Bupati Trenggalek sejak 2015 dan secara kasatmata lebih komunikatif. Emil, yang merupakan kader PDIP, mbalelo dengan bersedia digandeng Khofifah.
Lima dari 11 calon PDIP yang kalah di ajang pilgub (Mindra Purnomo/detikcom) |
Di Jawa Tengah, PDIP juga tak sejak dini mengumumkan nama Ganjar Pranowo sebagai calon yang diusungnya. Para elite sepertinya menunggu kepastian status Ganjar terkait kasus e-KTP di KPK. Meski popularitas Ganjar sangat menonjol, isu hukum dikhawatirkan bakal menjadi batu sandungan. Secara halus, Sudirman Said memang memainkan isu tersebut. Meski tak sampai menjungkalkan Ganjar, raihan suara Sudirman-Ida Fauziyah, yang masuk ke Jawa Tengah boleh dibilang dari nol, cukup mencengangkan. Hitung cepat LSI Denny JA mencatat, Ganjar Pranowo-Taj Yasin meraih 58,17% dan Sudirman Said-Ida Fauziyah 41,83%.
Keputusan PDIP mengusung Djarot Saiful Hidayat sebagai calon Gubernur Sumatera Utara dinilai sejumlah pihak cukup tepat. Meski bukan putra daerah, popularitas dia dianggap sudah menasional. Lagi pula, suku Jawa menjadi yang terbesar kedua setelah Batak di wilayah itu.
Bila menyimak penampilan dalam sejumlah sesi debat maupun wawancara di televisi, Djarot jelas lebih artikulatif dalam menyampaikan gagasannya membangun Sumut. Ketika ada stigma atau olok-olok bahwa Sumut akronim dari 'Semua Urusan Melalui Uang Tunai', dengan ringan Djarot membuat singkatan lain yang lebih elegan. "Sumut itu 'Semua Urusan Mudah dan Transparan'."
Tapi beberapa hari menjelang pencoblosan, isu putra daerah rupanya ikut dimainkan lawan-lawan politiknya. Perpindahan domisili Djarot menjadi warga Medan belakangan jadi sorotan karena dianggap prosesnya sangat cepat, tak seperti warga lain yang merasa dibuat ribet saat mengurus KTP.












































Lima dari 11 calon PDIP yang kalah di ajang pilgub (Mindra Purnomo/detikcom)