"Menyatakan terdakwa Aman Abdurrahman terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana terorisme. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana mati," ujar hakim ketua Akhmad Jaini membacakan amar putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (22/6/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Belum diketahui kapan Aman akan dieksekusi. Di Indonesia, eksekusi mati terhadap napi terorisme yang terakhir adalah pada tahun 2008. Jauh sebelum itu, eksekusi mati teroris di Indonesia juga pernah dilakukan pada tahun 1991.
Siapa saja mereka?
Amrozi
Amrozi. Foto: dok. detikcom
|
Penangkapan Amrozi terbilang cepat karena kurang dari sebulan. Padahal Amrozi diduga sudah berupaya meninggalkan jejak agar tak terlacak.
Kapolri saat itu, Jenderal Da'i Bachtiar menunjuk Irjen Polisi Made Mangku Pastika untuk memimpin investigasi. Kapolda Bali saat itu Brigjen Pol Budi Setyawan pun berjanji akan mundur jika investigasi gagal.
Penyelidikan diawali dengan menelusuri sepeda motor hingga taksi yang diduga berkaitan dengan teroris. Namun dari petunjuk awal itu malah menemui jalan buntu. Akhirnya polisi menemukan serpihan mobil L-300.
Nomor rangka mobil itu sudah dihilangkan oleh si pemilik dengan gerinda. Tapi rupanya upaya menghilangkan jejak itu gagal, polisi menemukan nomor uji kir yang selanjutnya menuntun kepada penangkapan Amrozi.
Setelah tertangkap, Amrozi mengungkap nama-nama yang terlibat dalam peristiwa pengeboman di Kuta, Bali yang merenggut 200 nyawa itu. Nama-nama tersebut adalah Ali Imron, Ali Fauzi, Qomaruddin yang merupakan eksekutor di Sari Club dan Paddy's. Kemudian ada M Gufron dan Mubarok menjadi orang yang membantu mempersiapkan peledakan.
Amrozi ditetapkan sebagai tersangka pada 8 desember 2002. Amrozi menjalani sidang perdana pada 12 Mei 2003 dan divonis mati pada 7 Juli 2003.
Amrozi dieksekusi mati di Nusakambangan pada 9 November 2008.
Imam Samudera
Imam Samudera. Foto: dok. detikcom
|
Imam Samudra belajar merakit bom di Malaysia dan Afghanistan. Dia juga mempelajari soal senjata api.
Imam ditangkap tanpa perlawanan di sebuah bus di Pelabuhan Merak, Jawa Barat, 26 November 2002. Dua hari setelahnya, pria yang saat itu berusia 35 tahun itu dibawa ke Bali untuk menjalani pemeriksaan intensif.
Pada 10 September 2003, anak pasangan Titin Embay dan Sihabuddin itu pun divonis mati oleh hakim. Dia dieksekusi mati pada 9 November 2008 bersama dengan 2 rekannya yakni Amrozi dan Ali Gufron.
Ali Gufron alias Mukhlas
Ali Gufron alias Mukhlas. Foto: dok. detikcom
|
Mukhlas rela meninggalkan bangku kuliah dan pergi ke Afghanistan pada 1986. Dia bergabung dengan kaum Mujahidin Afghanistan yang tengah berjuang melawan tentara Rusia.
Pada 1989, Mukhlas tinggal di Malaysia dan bekerja sebagai buruh di Ulu Tiram, Johor. Di tempat tersebut, dia berkenalan dan menikah dengan Paridah Abas, perempuan berkewarganegaraan Malaysia. Keluarga itu dikaruniai 3 anak.
Mukhlas juga mendirikan sebuah Pondok Persantren di Malaysia. Amrozi diketahui juga 'mengaji' di ponpes tersebut.
Pada 3 Desember 2002, Mukhlas ditangkap di Klaten, Jawa Tengah. Dia ditangkap bersama Ali Imron (adik Amrozi), Rahmat, dan Hermiyanto, serta sejumlah perempuan yang diduga merupakan istri mereka.
Mukhlas mengaku sebagai mantaqi ula di Jamaah Islamiyah menggantikan Hambali. Dia juga mengakui terlibat serangkaian peledakan bom di Indonesia selama tahun 2001. Pada peristiwa peledakan bom di Bali, 12 Oktober 2002, Mukhlas adalah pencari dana untuk membuat bom.
Muklas divonis mati pada 2 Oktober 2003. Dia juga sempat menulis surat yang seolah merasa beruntung karena telah divonis mati. Muklas juga orang yang paling vokal soal vonis mati.
Amrozi, Imam Samudra, dan Muklas sempat mengajukan 3 kali Peninjauan Kembali (PK) pada 2007-2008 yang semuanya ditolak. Pihak mereka juga sempat mengajukan gugatan UU Nomor 2/Pnps/1964 soal tata cara eksekusi mati yang kemudian ditolak MK pada 21 Oktober 2008. Mereka pun dieksekusi di Nusakambangan pada 9 November 2008.
Imran bin Muhammad Zein
Ilustrasi operasi Woyla (Ilustrasi: Luthfy Syahban)
|
Pesawat tersebut dibajak oleh sekelompok teroris dan kemudian dibelokkan ke wilayah Thailand. Pada 31 Maret 1981, pasukan Komado Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha) yang merupakan nama Kopassus saat itu, berhasil melumpuhkan para teroris dan menyelamatkan seluruh sandera pesawat di Bandara Don Muang, Bangkok, Thailand.
Operasi tersebut di bawah komando mantan Pangab Benny Moerdani yang kala itu menjabat sebagai Kepala Badan Intelejen Strategis (BAIS) ABRI. Setelah mendapat perintah untuk menyiapkan pasukan, Benny langsung menghubungi Asrama Kopasandha yang diterima oleh sang asisten operasi, Letkol Sintong Panjaitan.
Drama penyanderaan tersebut akhirnya dapat diakhiri setelah 60 jam berlangsung. Di bawah pimpinan Sintong, pasukan Grup 1 Para-Komado Kopassandha berhasil menyelamatkan seluruh penumpang. Tiga orang pembajak tewas seketika, 2 lainnya meninggal beberapa saat usai ditembak.
Sementara itu si pimpinan teroris, Imran bin Muhammad Zein selamat. Dia akhirnya ditangkap yang kemudian dieksekusi mati pada 1991.