Seperti kisah nakhoda kapal Dharma Rucitra I, Warno Edi Handoko. Ssekitar 1998 lalu, ia mulai menakhodai kapal feri di lintasan Ketapang-Gilimanuk untuk mengantarkan para pemudik. Warno seringkali tak merayakan lebaran bersama keluarga.
"Saya mulai jadi pelaut saya selesai 96-97. Saya terima ijazah kemudian saya berlayar 1-2 tahun saya di luar terus saya kembali ke Indonesia saya langsung masuk ke kapal penyeberangan ini. Ya saya satu harapan kami pengin dekat dengan keluarga, intinya seperti itu," kata Warno saat berbincang dengan detikcom, Jumat (22/6/2018).
Bekerja di perusahaan kapal feri memang tak sebesar di kapal cargo. Namun, niatnya untuk dekat dengan keluarga menjadi alasan utama untuk mengabdikan dirinya menahkodai kapal feri. Niat itu terkadang tak terealisasi, meski rumahnya yang kini di Cilegon, tapi sehari-hari ia mengapung bersama kapalnya di Selat Sunda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia baru bisa bertemu keluarga saat kapal sedang engker dan tak ada jadwal mengangkut penumpang. Itu pun hanya beberapa jam tergantung dari jadwal kapan akan kembali berlayar.
"Kecuali kapal istirahat/engker baru bisa saya minta izin turun dulu bertemu keluarga, kapal masuk kita naik lagi," ucapnya.
Saat Idul Fitri kemarin, Warno bertemu keluarganya untuk merayakan lebaran, itupun tak sampai 12 jam, kebetulan kapal yang ia nakhodai tak mendapatkan jadwal saat hari raya, ia kemudian meminta izin ke perusahaan untuk turun dan salat id di darat.
Berlebaran singkat bukan barang baru baginya, keluarga kecil yang ia miliki mengerti akan konsekuensi pekerjaannya sebagai nakhoda. Terkadang ia berlebaran justru dengan ABK di atas kapal.
"Karena kemarin kan jadwal pemerintah, kalau kapal-kapal besar kemarin saat waktunya pick session kapal-kapal besar masuk, ketika menjelang waktu lebaran kan mulai sepi kita engker, sorenya masuk lagi karena kita masuk jadwal," ujarnya.
Meski begitu, ada sisi lain kebahagian yang ia miliki saat tak bisa berlebaran dengan keluarga. Kebahagiaan itu terletak saat ia mampu mengantarkan pemudik berlabuh di pelabuhan.
Ketika kapal sandar, saat ratusan kendaraan dan penumpang turun dari kapal, di situ rasa bahagia muncul. Tanpa disengaja, turur Warno, air matanya menetes.
"Apalagi kalau motor itu keluar dari kapal, berbondong-bondong. Di situ saya berdoa mudah-mudahan mereka selamat sampai kampung halaman," kisahnya haru.
Tak sampai di situ, Warno terkadang keliling kapal untuk melihat para penumpang, saat melihat ada penumpang tidur sambil mendengkur di sana letak kebahagiaan kembali muncul.
"Jangankan begitu, saya lihat penumpang ngorok saja kadang menangis, artinya kapal yang saya nakhodai dikemudikan dengan aman dan nyaman sehingga mereka bisa tidur. Begitu juga dengan fasilitas kapal yang kita punya untuk melayani masyarakat," tuturnya.
Bagi Warno, kapal adalah rumah kedua dan ABK keluarga. Bertahun-tahun ia bertugas menakhodai kapal feri, berpindah tugas dari kapal satu ke kapal lain dengan perusahaan berbeda. Baginya, kapal, laut, dan cuaca harus dinahkodai dengan hati tak semata-mata dengan teknik yang pernah dipelajari. (asp/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini