Sejarawan Betawi, Ridwan Saidi mengungkapkan keraguannya mengenai jati diri Fatahillah sebagai pendiri kota Jakarta setelah merebutnya dari tangan Portugis pada 22 Juni 1527. Sebab tokoh ini hanya tercatat dalam dua babad, Cirebon dan Banten. Fatahillah disebut merebut pelabuhan Sunda Kelapa dan mengubahnya dengan nama Jayakarta(Kota Kemenangan).
"Saya cenderung dia tokoh fiktif karena kedatangan orang Yahudi Aljazair dicatat oleh Mendez Pinto (penulis Portugis). Nama seperti Raden Pate, Pate Unus, dan Tarangganu dicatat, tapi Fatahillah tidak dicatat. Ini sumbernya Babad Cirebon dan Banten," ungkap Ridwan saat dihubungi detik.com, Kamis 21 Juni 2018.
Penetapan HUT Jakarta saat ini, dia melanjtukan, disusun oleh sejarawan, Sukanto, atas permintaan Kepala Daerah Swatantra Tingkat I Kotapraja Jakarta Raya, Sudiro. Penelitian Sukanto hanya bersumber pada Babad Cirebon dan Banten. Ridwan meragukan penetapan HUT Jakarta karena tak diperkuat catatan lain, seperti penjelajah Eropa.
Menurutnya pada 1522 tidak ada catatan peperangan di sekitar Jakarta. Daerah itu justru dilanda tsunami (kemungkinan karena aktivitas Gunung Krakatau) pada abad 16 dan menghancurkan pelabuhan di Kali Adem (antara Pluit dan Kapuk) serta menyapu 3.000 rumah.
Raja Pakuan Sunda, Prabu Siliwangi, dan penguasa kota Sunda Kelapa, Kertajaya, lantas mengajak Portugis yang berbasis di Ternate dan Malaka untuk membangun pelabuhan baru di Kali Besar.
Kerjasama investasi ini ditandai dengan padrao atau tonggak sebagai tanda kuasa Portugis pada 1518. Portugis juga mengirim meriam cijagur sebagai keseriusannya melakukan investasi. Negara eropa itu mendapat imbalan berupa monopoli lada.
Kehadiran investasi Portugis di Sunda Kelapa ditandai dengan bangunan gedong panjang untuk penginapan, gudang lada, menara syahbandar, dan kantor bea cukai bergaya Melayu.
"Jadi perang apa, saat itu sedang gencarnya pembangunan. Tidak ada peperangan, makanya orang disana tidak mengenal Fatahillah ataupun Jayakarta," kata Ridwan Saidi menegaskan.
Berbeda dengan Ridwan, sejarawan Eropa, H.J. De Graaf dan TH. Pigeud, meyakini keberadaan Fatahillah dan perebutan Sunda Kelapa. Buku mereka berjudul Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram justru meragukan catatan Mendez Pinto yang dipakai Ridwan.
Fatahillah diduga bernama Nurullah dan berasal dari kerajaan Pasai yang pergi berhaji ketika kerajaan itu dikuasai dikuasai Portugis. Sadjarah Banten menyebutkan ia naik haji lantas dikenal sebagai Syekh Ibnu Molana. Penulis Portugis menulisnya dengan nama Faletehan dan Tagaril.
Pulang berhaji, Fatahillah mendarat di Demak dan dan dinikahkan dengan putri Raja Demak, Sultan Trenggono. Ia kemudian menyerang Sunda Kelapa karena ada Portugis. Kemenangan Fatahillah inilah yang mengubah Sunda Kelapa menjadi Jaya Karta, kota kemenangan. Selanjutnya Fatahillah tinggal di Cirebon pasca kematian Sultan Trenggono dan dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejarawan JJ Rizal sepakat dengan H.J. De Graaf dan TH. Pigeud. Hanya saja ia memberikan sedikit catatan, pasca berubah menjadi Jayakarta, pelabuhan itu justru menjadi lesu.
"Fatahillah akan diorientasikan mertuanya untuk menjadi panglima utama penguasa wilayah. Tetapi Jayakarta tak pernah jaya, pelabuhan itu hanya terkenal sebagai pelabuhan pemancingan," jelas Rizal.
Lepas dari kontroversi itu, Pramoedya Ananta Toer dalam novel Arus Balik justru menganggap persekutuan Fatahillah dan Trenggono sebagai biang kemerosotan maritim nusantara. Keduanya hanya berambisi menguasai Jawa sehingga kehadiran pelaut eropa mendominasi perdagangan nusantara.
(ayo/jat)