Hasballah (60), dialah sang maestro perajin rapai (alat musik tradisional Aceh) yang melegenda dari Desa Blang Weu Panjoe, Kecamatan Blang Mangat, Lhokseumawe, Aceh. Sejak tahun 1990-an silam, dia sudah mendedikasikan diri membuat rapai Aceh.
Ia merintis dan mengawali usaha ini dengan membangun sebuah pondok di belakang rumahnya untuk dijadikan pabrik mini pembuatan alat musik rapai. Tak ada guru khusus yang mengajarinya, semua dilakukan secara otodidak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Modalnya saat itu cuma keberanian, alias nekat. Tapi, sedikit demi sedikit, jalan Hasballah mulai terbuka lapang. Ia pun kian terampil mendesain, bahkan mengolah bahan kayu dan kulit kambing menjadi alat musik Rapai yang telah mendunia.
Kini, dengan usianya yang sudah lanjut, sang maestro mengolah batang kayu menjadi rapai bersama dua putranya. Mereka mendedikasikan diri berjuang bersama Hasballah melestarikan alat tradisional yang telah melegenda.
"Saya belajar dari ayah awalnya. Kini, saya bersama adik kandung bernama Suni, menekuni pekerjaan sebagai perajin rapai Aceh," kata Junaidi (36), putra sang maestro rapai Aceh ditemui detikcom, Selasa (5/6/2018).
Junaidi menyebutkan mereka bertiga hampir saban hari membuat rapai. Dulu, mereka membuat rapai di gubuk yang dibuat tepat di belakang rumah sang maestro. Namun, dengan keuletan dan kepintaran Junaidi, dia telah membuka satu gubuk lagi tempat pembuatan rapai. Gubuk itu dibuat dan Junaidi mulai menjalani bisnis secara sendirian. Sedangkan ayahnya, masih di bantu Suni sang adik kandungnya.
"Dulunya, saya membuat rapai bersama ayah. Setelah lepas masa lajang, saya memilih membuka usaha sendiri, namun tetap di bawah satu label nama. Sedangkan ayah, bekerja bersama adik di tempat dasar," sebut Junaidi.
Kata Junaidi, rapai juga terbagi beberapa jenis seperti rapai geleng, rapai musik, rapai grimpheng dan rapai uroh. Ukurannya pun mulai dari diameter 14 cm sampai 20 cm.
Rapai ini tidak dibuat dengan kayu sembarangan. Biasanya, Junaidi memakai kayu jenis merbo. Selain kuat, merbo juga mengkilap jika diukir dan dihaluskan. Namun, Junaidi juga mendapatkan kesulitan jika barang bakunya kayu merbo tidak ada.
"Biasanya, kayu-kayu dibeli dari pedalaman Aceh Utara. Harga rapai pun sangat bervariasi tergantung ukurannya. Untuk ukuran kecil dibanderol Rp600 ribu dan jika ambil satu set (12 buah) bisa dihargai sampai Rp6 juta," sebut Junaidi.
Bisnis keluarganya itu tergolong melegenda. Sebab, di Aceh sangat terkenal dengan rapai buatan keluarga Junaidi. Kerapian dan ketekunan dalam membuat, rapai keluarga Junaidi pun sudah tembus pasar internasional. Selain dijual hingga ke Jakarta, rapai miliknya sudah terjual ke Sydney, Australia dan sejumlah negara di Asia.
"Saya harap agar seni tradisional Aceh ini dilestarikan generasi muda, tentu dengan dukungan semua pihak termasuk pemerintah. Alhamdulillah, rapai pun sekarang sudah dikolaborasikan oleh anak-anak muda bersama alat musik modern lainnya. Semoga rapai terus lestari dan tak lekang di makan zaman," tambah Junaidi.
Untuk diketahui, sejak tahun 2017, rapai sudah termasuks sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Rapai adalah alat musik perkusi tradisional Aceh. Ia termasuk dalam keluarga frame drum, dimainkan dengan cara dipukul dengan tangan tanpa menggunakan stick. Di Aceh, Rapai sering digunakan pada upacara-upacara adat seperti upacara sunatan, perkawinan, pasar malam, mengiringi tarian, hari-hari besar, ulang tahun dan sebagainya. (asp/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini