Betapa tidak, Jokowi yang dikenal gemar blusukan membuat segenap staf Pemkot Bogor harus senantiasa siaga dan cepat melakukan pembenahan. "Kami harus selalu siap menindaklanjuti kerisauan beliau tentang kondisi Bogor," kata Bima dalam buku #AbdiBogor yang dirilis di Soehanna Hall, The Energy Building, Senin (29/5/2018).
Sebagai mantan wali kota Solo dan gubernur DKI, Jokowi juga tak pelit berbagi pengalaman dalam menata kota. Juga ikut memuluskan pendanaan sejumah proyek yang menjadi obsesi Bima. Untuk mengurai kemacetan dan menata sisi luar Istana dan Kebun Raya, misalnya, Bogor mendapatkan Dana Alokasi Khusus dari pemerintah Pusat sebesar Rp 35 miliar.
Oleh Bima, dana itu digunakan untuk memperlebar jalur pedestrian di sekeliling Istana Kepresidenan dan Kebun Raya. Hal itu diimbangi dengan penerapan sistem satu arah (SSA) untuk arus lalu lintas. Hasilnya, kini warga bisa lebih tukmaninah berjalan kaki, bebas pedagang kaki lima dan pengamen, juga mempercepat laju angkutan umum.
Tentu saja ketika kebijakan itu mulai diterapkan, Bima mendapatkan protes, cemooh, dan bully dari warganya. Tapi dengan kesediaannya membuka diri untuk dikritik dan memperbaikinya, ditambah nyali dan komitmen untuk memberikan yang terbaik, semua itu akhirnya berubah menjadi pujian.
"SSA itu membalikkan keraguan, bahkan ketidakpercayaan bahwa Bogor tidak mungkin diubahlah. Eh, ternyata Bogor bisa berubah," kata pengamat perkotaan dari Universtias Trisakti, Yayat Supriyatna.
Kesaksian senada disampaikan mantan Menko Kemaritiman Rizal Ramli. Dia mengakui selama bertahun-tahun hal paling menyebalkan dari Bogor adalah lalu lintasnya yang kacau dan trotoar sempit. Tapi sejak Bima menjadi walikota, Kota Bogor kondisinya jauh lebih asyik. "Traffic (arus lalu lintas) jauh lebih baik, dan yang paling saya kagumi itu trotoarnya paling enak buat pejalan kaki," ujar Rizal.
Baca juga: Buku dan Kontestasi dalam Pilkada |
Tapi selain PKL, pengamen, anak-anak punk yang menghilang sejak ada pelebaran trotoar dan pemberlakuan SSA adalah Mahfud. Dia warga biasa tapi eksistensinya, terutama di perempatan Hotel Salak dan Jalan Juanda sudah diketahui hampir segenap warga Kota Bogor.
Dia yang selama 20 tahun hadir mengatur hiruk pikuk arus lalu lintas dan para pejalan kaki, sejak pemberlakuan SSA jasanya tak diperlukan lagi. Meski kehilangan mata pencarian, toh dia malah berterima kasih kepada sang walikota. "Dia tidak mutung tapi justru berpikir positif dan mencari lahan lain, yakni di perempatan Bogor Baru," ujar Bima.
Ada banyak kisah menarik dan inspiratif lainnya yang diungkapkan Bima dalam buku tersebut, mulai dari berhadapan dengan ribuan sopir angkutan kota dan ojek online yang berunjuk rasa, menyiasati anggaran yang cekak, hingga menangkis hoaks.
Hal yang perlu dicatat, Bima mengakui sejumlah kebijakan yang dibuatnya ada sebagian yang dicopas dari para kepala daerah lain. Ia antara lain menyebut Wali kota Bandung Ridwan Kamil, Bupati Banyuwangi Azwar Anas, Bupati Bantaeng Prof Nurdin Abdullah, dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
"Semua yang baik-baik dari mereka saya contoh. ATM, namanya, ambil, tiru, modifikasi,"ujar Bima. (jat/jat)











































