Penyerangan Pada Ahmadiyah Bukti Radikalisasi Gerakan Islam
Senin, 18 Jul 2005 22:04 WIB
Jakarta - Penyerangan pada Kampus Mubarak Jemaat Ahmadiyah membuktikan terjadinya proses radikalisasi gerakan Islam di Indonesia. Hal ini tentunya, membuat luka bagi umat Islam, umat beragama dan negara Indonesia."Ahmadiyah di Parung telah berdiri sekitar 80 tahun, kok baru sekarang dipersoalkan. Penjelasan saya dari analisis sosial dan politik bahwa sekarang ini memang telah terjadi proses radikalisme gerakan Islam," jelas cendekiawan muslim Dawam Rahardjo kepada wartawan di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jl Diponegoro, Jakarta, Senin (18/7/2005).Menurut Dawan, kejadian penyerangan di Kampus Mubarak ini bukan suatu kebetulan belaka, tapi akibat proses radikalisme gerakan Islam yang digunakan untuk tujuantertentu. Seperti diketahui, umat Islam dewasa ini menghadapi berbagai persoalan, khususnya terorisme."Image umat Islam dirusak dengan berbagai kejadian kekerasan dan terorisme. Ini merupakan iritasi terhadap umat Islam, iritasi terhadap umat beragama dan iritasi terhadap negara," jelas mantan salah satu Ketua DPP Muhammadiyah ini.Kondisi seperti inilah yang memprihatinkannya, untuk itu dirinya mengusulkan akan dibentuk sebuah aliansi sejumlah tokoh Islam guna melakukan dialog. Memang diakui Dawan, ada dua aliran Ahmadiyah di dunia, yaitu Ahmadiyah Lahore dan Qadian.Saat ini yang paling berpengaruh besar di dunia, yaitu Qadiani yang tersebar di 178 negara, termasuk Amerika Serikat, Eropa dan Indonesia. Ahmadiyah menurut Dawam, merupakan gerakan intelektual dan spiritual dengan dakwahnya tidak sekonvensional yang ada.Tapi sifatnya lebih kepada pencerahan jiwa dan pemikiran dengan pendekatan rasional dan liberal. Ciri utama Ahmadiyah Qadiani lain, yaitu lebih mengutamakan program untuk membantu kemanusiaan."Jadi sebetulnya tidak ada perbedaan mendasar, Rukun Iman dan Rukun Islam sama, sholat dan naik hajinya sama. Dari segi syariat Islam sama. Tapi ada fitnah bahwa orang Ahmadiyah pergi haji cukup ke Parung," jelas Dawan.Diakui Dawam, yang menjadi keberatan adalah adanya klaim bahwa pendiri Ahmadiyah Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi. Disinilah perbedaan pengertian tentang kenabian. Menurut Ahmadiyah Qadiani, nabi merupakan pemberi atau penyampai kabar dari langit."Tapi tidak membawa suatu ajaran atau syariat baru dan juga tidak menggantikan Nabi Muhammad SAW, tapi ingin menghidupkan kembali ajaran agama Islam," kata Dawam.Perbedaan penafsiran inilah yang justru menuding bahwa seolah-olah pengikut Ahmadiyah menganggap Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi. "Padahal tidak ada klaim seperti itu. Ini sebenarnya strategi dakwah Mirza Gulam Ahmad agar lebih terlihat berwibawa dan karismatik untuk menyebarkan ajaran Islam," jelas Dawam.
(ddn/)